Monday, 15 March 2010

Kontroversi Hukuman Mati


DI negara mana pun,penerapan hukuman mati menuai kontroversi,tak terkecuali di Indonesia.Bahkan, di sejumlah negara telah menghapus hukuman tersebut dalam sistem perundang-undangannya.

Namun, Pemerintah Indonesia tetap bersikukuh mempertahankannya. Sejumlah produk hukum yang mencantumkan jenis hukuman mati di antaranya KUHP, Undang- Undang (UU) Narkotika,UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), serta UU Anti Terorisme.Kenyataannya, hukuman mati di Tanah Air memang bukan sekadar menjadi ”hiasan”semata,tetapi banyak terpidana mati yang telah menjalani eksekusi. Pada 2004, dieksekusi tiga terpidana asing yang terlibat dalam kasus narkoba, masing-masing bernama Ayodya Prasad Chaubey, Saelow Prasad, dan Namsong Sirilak. Nama Astini dan Turmudi bin Kasturi juga masuk dalam daftar orang-orang yang telah menjalani eksekusi,tepatnya pada 2005 lalu.

Keduanya terlibat aksi pembunuhan berencana. Menyusul kemudian tiga pelaku bom bali yakni Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron. Ketiganya menjalani hukuman mati pada 2008 dengan cara ditembak. Dari hasil kompilasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial tergambar bahwa Indonesia termasuk negara yang cukup banyak menjatuhkan hukuman mati bagi warganya. Seiring dengan makin gencarnya penerapan hukuman mati, pro-kontra pelaksanaan hukuman itu pun terus bergulir. Banyak kalangan, mulai dari aktivis sampai ahli hukum mengeluarkan wacana untuk menghapus hukuman mati. Beberapa tahun lalu, bentuk penolakan terhadap hukuman mati juga secara resmi dikeluarkan melalui uji materiil terhadap hukuman mati dalam UU Narkotika.

Hasilnya Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan hukuman mati karena dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia (SI) yang diselenggarakan pada 1– 5 Maret 2010, polemik soal kelayakan hukuman mati kembali tergambar. Muncul perdebatan di kalangan masyarakat yang tersebar di enam kota besar di Indonesia. Saat ditanya bagaimana sikap para responden terhadap penerapan pidana mati bagi pelaku pembunuhan, narkoba serta terorisme, masing-masing punya jawaban tersendiri. Untuk kasus pembunuhan, sebanyak 76% mendukung penerapan hukuman mati bagi pelakunya dan hanya 16% yang menolak langkah tersebut.

Begitu juga,mayoritas responden, masing-masing 80% dan 59%,mendukung pidana mati bagi pelaku terorisme dan narkotika. Sementara 11% dan 32% lainnya menolak. Dari hasil jajak pendapat tersebut terlihat bahwa mayoritas responden memberikan dukungan yang paling besar terhadap penerapan hukuman mati pada kasus terorisme. Di urutan kedua adalah kasus pembunuhan dan yang ketiga adalah narkotika (lihat tabel). Bentuk penolakan maupun dukungan terhadap hukuman mati yang disampaikan para responden sama-sama berangkat dari perspektif kemanusian dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Di satu sisi, hukuman mati dianggap tak layak lantaran dinilai telah memberangus hak seseorang untuk hidup.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 amandemen kedua, bahwa hak atas hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Selain itu, hukuman mati dianggap tidak perlu diberlakukan karena alasan kemanusiaan. Banyak terpidana mati yang harus mendekam di dalam tahanan untuk waktu tertentu, yang pada akhirnya tetap juga dieksekusi. Hal ini tentunya akan memberikan efek psikologis yang luar biasa bagi terpidana.

Kekhawatiran akan terjadinya kesalahan dalam sidang yang mungkin saja terjadi pascaeksekusi turut melatarbelakangi penolakan para responden terhadap ancaman hukuman mati. Di sisi lain, penerapan hukuman tersebut didukung karena apa yang pelaku perbuat juga merupakan bentuk pelanggaran HAM, seperti aksi pembunuhan dan terorisme. Dalam hal ini, pelaku menghilangkan nyawa orang,yang bahkan dalam aksi terorisme bisa mencapai ratusan nyawa. Seperti pada tragedi bom bali di mana jumlah korban tewas mencapai 202 orang dan korban luka mencapai 209 orang. Ada sekian imbas lanjutan yang terjadi pascakejadian tersebut.

Selain menimbulkan korban jiwa, keluarga korban juga kehilangan tempat bergantung. Pun, banyak korban yang kemudian menderita cacat permanen, kehilangan mata pencaharian dan sebagainya. Negara juga dirugikan karena peristiwa tersebut membuat investor asing hengkang dan kunjungan wisata menurun. Dalam hal ini, para responden melihat keadilan perlu juga dilihat dari sisi korban dan tak melulu hanya fokus pada si pelaku. Toh, negara juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan HAM bagi para korban yang haknya sama-sama telah dirampas pelaku.

Shock Therapy yang Gagal

Di luar perdebatan mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati diberlakukan, sebuah pertanyaan mendasar terlontar, yakni apakah penerapan hukuman mati bisa memberikan shock therapy (terapi kejut) bagi orang lain sehingga bisa meredam niat mereka untuk melakukan kejahatan?

Dalam hasil jajak pendapat, perbedaan pendapat yang tipis bisa terlihat. Sebanyak 41% responden menyatakan ketidakyakinannya terhadap keampuhan pidana mati untuk membuat jera para calon pelaku lainnya.Sedangkan 47% lainnya menjawab pernyataan yang berseberangan. Mereka menilai hukuman efektif untuk memberikan shock therapybagi masyarakat (lihat tabel). Selama ini,memang belum ada penelitian yang menghasilkan temuan adanya korelasi positif antara hukuman mati dan tindak kejahatan. Jika melihat situasi sekarang pun, berbagai tindak kejahatan seperti pembunuhan, terorisme dan narkotika tetap marak terjadi.

Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), kasuskasus tindak pidana yang menyangkut narkoba terus meningkat selama lima tahun terakhir, yakni sejak 2001 sampai 2005. Data Direkrorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai juga menguatkan hal tersebut. Selama 2009, tercatat ada 74 kasus tangkapan narkoba. Jumlah ini naik signifikan dari tahun sebelumnya yang mencapai 42 kasus. Padahal, tak sedikit pelaku dari jenis kejahatan narkoba yang telah dieksekusi mati. Menurut data LSM Imparsial, sejak 1998 hingga Desember 2009, terpidana mati yang telah dieksekusi sebanyak 21 orang,lima di antaranya adalah kasus narkoba.

Begitu pun kasus terorisme. Pascahukuman mati yang dijatuhkan pada Amrozi CS pada 2008 lalu, tindakan terorisme kembali berulang dengan pengeboman yang terjadi di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton pada 2009. Hal itu seolah membuktikan bahwa hukuman mati ternyata belum memiliki ”taring” yang tajam untuk menekan tindak kejahatan. Yang terjadi, para pelaku justru belajar untuk kemudian menciptakan inovasi- inovasi baru dalam menjalankan operasi kejahatannya.

Memaksimalkan Penegakan Hukum

Belum maksimalnya penegakan hukum di Tanah Air, bisa jadi merupakan salah satu penyebab atas lemahnya kemampuan pidana mati dalam memberikan terapi kejut bagi masyarakat. Lemahnya penegakan hukum sendiri bisa dilihat dari masih maraknya praktek tebang pilih dan mafia peradilan. Dalam konteks hukuman mati pun, kedua hal tersebut masih terjadi.

Hasil jajak pendapat yang melibatkan responden dari enam kota turut menguatkan hal tersebut. Sebanyak 76% responden menyatakan penerapan hukuman mati di Indonesia masih tebang pilih. Hanya 19% yang memberikan respons positif atas penerapan hukuman mati di Tanah Air selama ini (lihat tabel). Jika melihat deretan vonis yang dijatuhkan dalam pengadilan di Indonesia, pidana mati memang seolah tidak pernah mampu menjangkau pelaku dari kelompok elit.

Hukuman tersebut hanya diberlakukan bagi pelaku kejahatan kerah biru, sementara pelaku kejahatan kerah putih,semisal korupsi lebih beruntung karena hanya divonis dengan maksimal pidana penjara.Padahal,secara ekonomis, dampak dari perbuatan seorang koruptor sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Hal ini memunculkan kekhawatiran, sebab dalam penjelasan UU Tipikor sendiri telah disebutkan bahwa perbuatan korupsi di mana negara dalam keadaan perang, bencana alam nasional, dan negara dalam keadaan krisis, pelakunya bisa dihukum mati.

Ketimpangan inilah yang pada akhirnya memunculkan tuntutan agar pemerintah bisa segera berbenah. Tak hanya sekadar melakukan kajian terhadap kelayakan penerapan hukuman mati,namun yang terpenting pemerintah beserta jajarannya juga harus meningkatkan komitmennya dalam upaya penegakan hukum di Tanah Air. Menerapkan hukuman tanpa pandang bulu sekaligus membentuk aparat yang profesional, serta ”bersih” merupakan dua upaya yang harus diprioritaskan. Mampukah pemerintah?

Hukuman Mati dari Sisi HAM

Dalam Sidang Paripurna Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada 23-24 September 2008 lalu menghasilkan beberapa keputusan tentang hukuman mati dipandang dari sudut HAM. Keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM tersebut tertuang dalam Nomor: 033/SP/ IX/2008. Sebelum mengajukan sejumlah rekomendasi terhadap pemerintah, dalam keputusan tersebut juga menyebutkan ketentuan mengenai hukuman mati yang terdapat dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 6 yang memuat ketentuan mengenai hak hidup (right tolife).

Materi tersebut tertuang dalam Bab II, yang menyatakan bahwa Pasal 6 Ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan mengenai hak hidup, bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum.Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang- wenang.Terlihat dari rumusan tersebut, hak hidup mempunyai kekhususan. Kekhususan dari hak hidup dapat dilihat dari kata sifat melekat (inherent), yang dalam seluruh Kovenan Internasional hak Sipil dan Politik hanya digunakan dalam ketentuan ini. Istilah inherentyang digunakan menekankan sifat melekat hak tersebut pada diri manusia.

Kekhususan penting lain dapat dilihat dalam penggunaan kata keterangan waktu sekarang (present tense) ”has”dan bukan ”shall have”. Rumusan ini menekankan bahwa hak hidup ada,begitu manusia ada, seiring dengan kodrat manusia. Rumusan ini menekankan dan mengakui sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang bersifat kodrati. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kata melekat (inherent) dan penekanan sifat kodrati hak hidup dalam ketentuan ini menekankan sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang tak dapat dicabut oleh manusia. Selain itu,Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan hak hidup sebagai ”supreme human rights”, yaitu bahwa tanpa pemenuhan hak hidup,hak-hak asasi manusia lain tidak akan mempunyai arti apaapa.

Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, pengaturan hak hidup menempati pengaturan paling depan dalam ketentuan yang mengatur hak substantif di mana hak hidup ditempatkan sebagai hak substantif pertama yang diatur baru kemudian disusul oleh hak-hak lainnya. Ketentuan Pasal 4 Ayat 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik juga memuat ketentuan larangan adanya pengurangan terhadap beberapa hak,salah satunya adalah hak hidup (right to life). Dengan demikian, hak hidup termasuk hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights) bahkan dalam keadaan darurat yang membahayakan kehidupan bangsa sekalipun.

Bahwa hak hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) dikuatkan oleh Komite HAM melalui Komentar Umum Nomor 6 yang menyatakan bahwa [h]ak ini [dibaca hidup] merupakan hak absolut yang tidak boleh dikurangi bahkan dalam kondisi darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa (pasal 4/ICCPR/ pen)”. Dalam sidang paripurna itu Komnas HAM juga merekomendasikan bahwa pemerintah segera melakukan upaya untuk menghapus hukuman mati dalam hukum nasional dengan mulai membatasi jenis kejahatan yang diancam hukuman mati.

Selanjutnya, pemerintah harus secara bertahap dan terencana melakukan upaya untuk menghapus hukuman mati. Sementara, dalam proses penghapusan hukuman mati secara bertahap dan terencana tersebut,pemerintah harus mengkaji kembali hukum nasional yang ada, serta praktik-pratik yang ada sehingga dapat menjamin adanya prosedur hukum yang paling hati-hati, serta kemungkinan yang paling besar adanya perlindungan bagi tersangka hukuman mati sesuai Resolusi Umum PBB. Lebih dari itu, hendaknya pemerintah memberlakukan moratorium bagi pelaksanaan hukuman mati.

Begitu juga,segera melakukan pengesahan Protokol Opsional Kedua pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang Ditujukan untuk Penghapusan Hukuman Mati tahun 1989.

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: