Sunday, 16 May 2010

Jalan Berbayar, Sekadar Kulit


Pemerintah, pada Senin (10/5) lalu, melempar sebuah wacana yang sebenarnya tidak baru untuk mengatasi kemacetan Ibu Kota. Menurut Kepala Bidang Informasi Publik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia, Pemprov DKI berencana menghapus kawasan 3 in 1 dan menggantinya dengan sistem jalan berbayar (electronic road pricing).

Penerapan kawasan 3 in 1 ia nyatakan tidak efektif dalam mengurangi kemacetan. Buktinya, sistem itu tidak berhasil ‘memaksa’ pengguna kendaraan pribadi untuk pindah menggunakan kendaraan umum. Hasilnya, kemacetan, yang selayaknya hanya jadi mimpi terburuk, menjadi keniscayaan bagi hampir semua warga Jakarta dan sekitarnya.

Nantinya, kebijakan jalan berbayar akan mewajibkan mobil dan motor untuk membayar biaya retribusi jika mereka melewati ruas jalan tertentu. Tujuannya? Sama seperti 3 in 1, agar pengguna kendaraan pribadi berpindah menggunakan kendaraan umum.

Ketika topik rencana penghapusan kawasan 3 in 1 ini dilempar ke forum Yahoo! Answers, kami menerima sekitar 220 jawaban. Sebagian besar menyatakan kekhawatiran dan skeptisismenya terhadap wacana terbaru ini.

Pertama, kebijakan itu dinilai memberatkan. Beberapa penjawab seperti Ria merasa bahwa retribusi yang rencananya ditetapkan sebesar Rp 20 ribu itu hanya sekadar uang receh bagi kebanyakan warga kelas menengah atas Ibu Kota, yang sehari-harinya menggunakan kendaraan pribadi. Yang ia khawatirkan malah ada upaya pengeksklusifan jalan-jalan itu khusus untuk orang-orang kaya daripada memberi akses merata bagi masyarakat luas, menggunakan kendaraan umum.

Penjawab Fainsain juga mengkhawatirkan hal yang sama. Menurut dia, sistem ini tidak akan berdampak pada pengemudi kelas menengah atas yang mampu membayar pungutan seperti itu. “Kenapa sih selalu bayar-bayar terus. Lama-kelamaan Jakarta hanya bisa dipenuhi oleh masyarakat menengah atas,” tulisnya.

Skeptisisme terhadap sistem jalan berbayar juga disampaikan oleh penjawab Daeng Ca’di. Selama kondisi angkutan kota masih seperti sekarang, ia yakin sistem ERP tidak akan memberi dampak yang berarti. “Warga Jakarta lebih memilih untuk membayar lebih dari pada naik angkutan kota yang tidak aman dan tidak nyaman. Angkutan Trans-Jakarta sampai saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan warga Jakarta, dari segi jumlah armada masih sangat minim. Di lain pihak KRL Jabodetabek yang layak masih dapat dihitung dengan jari. Benahi angkutan umum dulu, baru langkah ini efektif dilakukan,” jawabnya.

Pentingnya perbaikan moda transportasi massal, terutama dari segi keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu, juga disoroti oleh penjawab Sigit. “Kalau moda angkutan umum kondisinya sama dengan saat naik kendaraan pribadi, pasti banyak org memilih naik angkutan umum tersebut.” Berbagai layanan bus shuttle dari perumahan-perumahan elit di kawasan pinggiran Jakarta membuktikan bahwa jika pemerintah mau, mereka bisa menyamakan kualitas angkutan umum dengan angkutan pribadi. Sehingga orang kemudian tergerak untuk menggunakan angkutan umum yang murah dan nyaman, daripada membawa kendaraan pribadi.

Memang, pemerintah provinsi DKI Jakarta sudah menyediakan moda transportasi busway untuk mengatasi kemacetan.

Sampai sekarang, moda itu pun belum bisa membantu mengurai ruwetnya jalan-jalan Ibu Kota.

Menurut Eryk, meski kondisi armada bus lebih baik dibanding rata-rata bus dalam kota lainnya, tetap saja, layanan yang diberikan belum mendorong pengguna kendaraan pribadi untuk berpindah ke busway.

Dari mulai jam kedatangan dan keberangkatan yang masih suka terlambat, kekurangan armada, penumpang berdesak-desakkan pada jam-jam menuju dan pulang kerja, serta sarana dan prasarananya yang kini mulai usang dan belum diperbarui.

Penjawab Ari yang pernah tinggal di Tokyo, berbagi pengalaman. Kemapanan sistem transportasi perkotaan di Tokyo tidak tercipta dalam waktu cepat.

Sistem transportasi di Jepang telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang terus menerus selama berpuluh tahun. Dan hasilnya adalah suatu sistem transportasi umum (bis, kereta, taksi, bahkan dengan angkutan udara, dan laut) yang sangat terintegrasi.

“Kenapa justru jalan tol dalam kota yang diperbanyak. Sepertinya ada yang salah dengan grand design sistem transportasi di DKI. Benahi saja sistem transportasi umum yang terintegrasi. Maka saya akan, dan saya yakin akan ada banyak orang yang, beralih ke angkutan umum,” tulis Ari.

Tampaknya para penjawab di forum Yahoo! Answers sudah bisa melihat inti permasalahan kemacetan Jakarta. Kuncinya adalah perbaikan moda transportasi massal. Kebijakan kawasan 3 in 1 atau penggantinya nanti, apakah itu sistem jalan berbayar atau yang lain, tidak menyasar inti permasalahan.

Sekarang tinggal para petinggi Jakarta, atau mungkin nasional, yang seharusnya membuat diri mereka peka terhadap kebutuhan utama penduduk di kota tempat mereka beraktivitas.

Sebuah sistem transportasi umum yang nyaman, aman, bisa diandalkan ketepatan waktunya, dan dengan harga relatif murah. Bisakah mereka peka, saat mereka memiliki keistimewaan fasilitas konvoi pembuka jalan?


Sumber
Yahoo.com


Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: