Saturday, 26 June 2010
Setiap orang ingin hidup sehat. Namun ketika penyakit datang, tingkat ekonomi individu sangat berperan apakah dia dapat segera kembali sehat atau justru berujung pada kematian. Di Indonesia, sudah ada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya mengamanatkan pemberian jaminan kesehatan untuk semua warga yang belum dijalankan sampai saat ini.
Undang-undang ini, seperti disebut mantan Ketua Tim SJSN Sulastomo, adalah untuk memberi cakupan perlindungan menyeluruh bagi warga karena sistem Askeskin, Jamkesmas, dan pengobatan gratis oleh sejumlah pemerintah daerah belum menjangkau semua warga (Kompas, 26/12/2009). Hal ini terutama akan sangat dirasakan mereka yang tidak masuk kategori miskin, tetapi juga tidak kaya.
Dalam diskusi di Bappenas awal Januari lalu, Aparnaa Somanathan, health economist untuk Asia Timur dan Pasifik, Bank Dunia, membandingkan data kesehatan sejumlah negara di Asia dan Pasifik. Meskipun Indonesia membuat capaian dalam penurunan angka kematian bayi, tetapi kesenjangan antara yang kaya dan miskin masih lebar. Begitu juga dalam kesehatan anak balita.
Seperti juga negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya, Indonesia menerapkan pajak langsung secara progresif tetapi kurang progresif bagi kebutuhan dasar. Biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri juga progresif, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan. Situasi itu menyebabkan layanan kesehatan juga menyebar berdasarkan distribusi biaya yang dikeluarkan individu. Ini sejalan dengan temuan penelitian Prof Dr dr Laksono Trisnantoro dan kawan-kawan dari Universitas Gadjah Mada.
Dalam lima tahun terakhir (2003-2008), pertumbuhan tertinggi adalah pada rumah sakit privat berbadan hukum persero, yaitu dari 49 RS menjadi 85 RS. Sementara rumah sakit publik berbentuk yayasan hanya bertambah 9 RS dan milik perkumpulan hanya bertambah 2 RS.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada RS berukuran kecil (kurang dari 50 tempat tidur, tertinggi di Jakarta) dan menengah (50-150 tempat tidur). Menurut penelitian tim UGM tersebut, pertumbuhan terbesar RS privat terjadi di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Data itu, menurut penelitian ini, mengindikasikan, insentif untuk menjadi RS swasta bermotif laba lebih besar daripada insentif untuk RS publik berbadan hukum nirlaba. (Ninuk MP)
Sumber
Kompas
Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html
0 comments:
Post a Comment