Friday, 25 June 2010

Satimah Butuh Layanan Kesehatan

Oleh Clara Wresti

Satimah sedang menunggu giliran di bagian fisioterapi Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara. Selasa (22/6) adalah hari terakhir nenek sembilan cucu yang tak punya penghasilan itu menjalani terapi terakhir dari 12 terapi yang diperintahkan dokter untuk mengobati tangan kanannya yang nyeri.

”Kalau suruh bayar sendiri, mana punya uang. Paling saya bawa Rp 4.000 buat ongkos pulang-pergi naik (angkutan umum) KWK,” tutur Satimah. Dia kehilangan penghasilan Rp 5.000 per hari dari untung berjualan nasi uduk setelah lahan tempat dia berjualan dimanfaatkan pemiliknya sejak dua tahun lalu. Dengan memegang kartu Keluarga Miskin (Gakin) DKI Jakarta, Satimah bisa berobat gratis di RSUD Koja.

Di Makassar, Sao (40), pedagang sayur di Pasar Wajo, Kota Bau-bau, Sulawesi Tenggara, mengaku puas dengan pelayanan RS Islam Faisal di Makassar. Dia kembali ke RS publik itu untuk pengobatan tumor kandungan istrinya, Wasuminah (38), sejak dua minggu lalu. Tahun lalu, dia juga berobat ke RS tersebut. Menurut Sao, para perawat cukup terbuka dengan menunjukkan bukti obat-obatan yang digunakan. Selama perawatan, dia hanya membayar Rp 400.000 untuk obat-obat nongenerik yang harus dibeli di luar apotek RS tersebut.

Satimah enggan berobat ke RSUD Koja untuk masalah jantungnya karena petugas kesehatan di bagian jantung kurang ramah dan memilih berobat ke RS Islam Cempaka Putih. Dia tetap mendapat pengobatan gratis di RS publik itu meskipun harus mengeluarkan ongkos transport lebih mahal.

Suwarni (64), istri pensiunan kepolisian, yang menderita diabetes kronis, juga memilih RSUD Koja karena biaya berobatnya murah. Peserta asuransi kesehatan Askes ini hanya membayar Rp 19.000 untuk pemeriksaan darah, sementara di RS lain yang juga melayani Askes dia harus membayar tiga kali lipat.

Meski begitu, dia mengeluhkan juga layanan petugas bagian farmasi yang kurang ramah. ”Saya mengerti RS ini pasiennya banyak sekali, sementara petugasnya kurang, tetapi tidak ada salahnya petugas bersikap sopan. Apalagi kepada orang tua seperti saya,” kata Suwarni yang menyebut juga lebih banyak petugas yang melayani dengan baik dan RSUD Koja lumayan baik dan bersih untuk ukuran RS pemerintah.

RS publik

Saat ini Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat sedang menyusun RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai implementasi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2004. Sistem jaminan kesehatan saat ini dianggap tidak menjangkau sebagian besar warga yang tidak tergolong miskin, tetapi akan menghadapi kesulitan besar ketika sakit.

Bagi warga kurang mampu, RS publik milik pemerintah atau nonpemerintah yang dikelola yayasan dan perkumpulan adalah tumpuan layanan kesehatan. Sebagai RS publik, rumah sakit tidak mencari keuntungan untuk mengembalikan modal pemilik.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mensyaratkan, RS publik dikelola pemerintah pusat dan daerah serta badan usaha nirlaba yang keuntungan dari kegiatan dikembalikan menjadi layanan bagi pasien. Sebagai imbalan, UU menetapkan RS publik mendapat insentif pajak. Dengan demikian, RS publik dapat melayani masyarakat kurang mampu.

RSUD Koja yang berdiri Agustus 1952, misalnya, menjadi favorit warga Jakarta Utara yang memiliki banyak warga miskin, warga asli maupun pendatang. Menurut Direktur Utama RSUD Koja Togi Aswan Sinaga, 73 persen dari total pasien adalah pemegang kartu Gakin, surat keterangan tidak mampu (SKTM), dan Jamkesmas. Merekalah yang membuat RSUD ini berjalan. ”Setiap hari 300-400 pasien (Gakin, SKTM, dan Jamkesmas) berobat ke sini,” papar Togi.

Dengan menangani pasien pemegang kartu Gakin, SKTM, dan Jemksemas, RSUD mendapat penggantian dari pemerintah yang menyubsidi layanan kesehatan warga tidak mampu. Dari 335 tempat tidur, 189 buah untuk pasien kelas III dengan biaya Rp 20.000 per hari. Meski demikian, tiap hari ada 5-6 pasien mengantre untuk bisa rawat inap di kelas III.

Di Makassar, RSI Faisal di Jalan AP Pattarani melayani pasien tak mampu pada tahun 1997 ketika diminta pemerintah daerah melayani 70 pengungsi asal Timor Timur. Tahun 2009, RS itu melayani 3.155 warga miskin, antara lain peserta Jamkesmas. Pada tahun 2007, RSI itu mendapat bantuan pemerintah, gedung tiga lantai untuk perawatan warga tak mampu berkapasitas 68 tempat tidur dan ruang pemeriksaan serta laboratorium.

”Kami mengutamakan penanganan kesehatan. Kartu Jamkesmas bisa ditunjukkan belakangan asal tidak lebih dari 24 jam,” kata Direktur RSI Faisal Prof Dr dr Arifuddin Djuanna SpOG(K) pekan lalu. RSI yang yayasannya diketuai mantan Wapres Jusuf Kalla itu juga menerapkan subsidi silang untuk pasien tak mampu selain dari Jamkesmas.

Di Medan, Sumatera Utara, RS Santa Elisabet, yang beroperasi sejak tahun 1930 dan terbuka untuk semua, dari awal sudah menetapkan diri sebagai rumah sakit nirlaba. Sampai kini, 20 persen dari 260 tempat tidur RS itu disediakan bagi warga kurang mampu meskipun belum diikutkan program Jamkesmas oleh pemerintah. Tarifnya Rp 110.000 per hari untuk kelas III dan gratis untuk kelas IV. ”Untuk biaya operasional, kami menerapkan subsidi silang,” kata Alfred C Satyo, Kepala Humas RS Santa Elisabet, di kantornya, Selasa (22/6).

Insentif pemerintah

Dengan bentuk badan usaha nirlaba dan mendapat tugas sosial tetapi harus dapat membiayai dan mengembangkan diri, RS publik layak mendapat insentif dari pemerintah.

Sebagai RSUD, Koja mendapat bantuan APBD DKI Jakarta sebesar 40 persen dari biaya operasional. Sisanya, seperti untuk gaji pegawai non-pegawai negeri sipil (PNS), obat, gizi dan pelayanan, dibiayai dari pendapatan RS. Dari 691 pegawai di RSUD Koja, 225 di antaranya PNS. ”Yang PNS digaji berdasarkan gelar, jabatan, dan masa kerja oleh pemerintah. Yang non-PNS dibayar berdasar UMR,” jelas Togi.

Gaji rendah ini membuat RSUD Koja kesulitan mencari tenaga dokter spesialis sehingga hanya tersedia satu dokter di tiap bidang. Bahkan ada dokter spesialis yang bersifat konsulen, datang seminggu dua kali.

”Kami sudah mencoba memberi insentif 45 persen dari tindakan oleh dokter. Tetapi, karena biaya tindakan juga murah, maka uang yang didapat dokter juga sedikit,” tambah Togi. RSUD menetapkan biaya dokter spesialis Rp 10.000, sementara layanan sama di RS privat di Jakarta bisa di atas Rp 150.000 per konsultasi.

Dokter-dokter pun semakin tua dan beberapa menjelang pensiun. Permintaan tenaga dokter kepada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Dinas Kesehatan DKI belum berhasil. Peralatan juga semakin tua, begitu pun ruang perawatan kelas III banyak yang bocor. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sudah mengunjungi RS tersebut dan sepakat merenovasi, tetapi sampai kini belum terwujud.

Sikap mental pasien pun tak membantu. Ada yang pura-pura miskin, tetapi juga ada yang pura-pura mampu. Ketika tagihan kelas II datang, mereka mengajukan SKTM, sementara yang pemerintah mengganti perawatan kelas III. ”Pasien sudah pasang badan, terserah mau diapakan. Kalau sudah begitu, rumah sakit mau bagaimana?” keluh Togi. Itu pun masih ditambah dengan percaloan SKTM.

Karena itu, pemerintah harus menyusun basis data pemegang Jamkesmas dan Gakin serta setiap warga dengan nama dan alamat jelas. Selain itu, insentif perpajakan bagi RS publik akan sangat membantu RS meningkatkan layanannya.

Bagi warga kurang mampu seperti Saiful (29) dari Tugu Utara, Koja, RSUD tetap dibutuhkan. ”Ibaratnya naik metromini atau taksi. Kalau mau nyaman, naik taksi. Kalau cari murah ya naik metromini. Yang penting tempat yang dituju tercapai. Dapat obat dan sembuh,” kata dia. (RIZ/MHF/NMP)




Sumber
Kompas

Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: