Friday, 4 September 2009

" Penggunaan Energi Lain "


Jurnalnet.com (Jakarta): Lengkung kawat Saluran Udara Tegangan Tinggi (Sutet) yang terendah harus memenuhi prasyarat minimal untuk rasa aman. Tapi ketentuan dapat dikatakan aman secara internasional, bila tidak ada rumah atau hunian penduduk di bawah kawat atau jaringan Sutet tersebut. Sedangkan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) belum bisa dikatakan aman ataupun ramah lingkungan.

Hal itu dikatakan oleh Prof Atmonobudi Soebagio PhD kepada Jurnalnet.com seusai dikukuhkan dirinya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta, Rabu (22/2). Dalam pengukuhannya di depan para senat UKI dan undangan ia menyampaikan pidato ilmiah bertajuk "Mencermati Kebijakan Energi Nasional dan Korelasinya dengan Keseimbangan Energi Bumi: Usulan untuk Memenuhi Kebutuhan Daya Listrik pada Sistem jaringan Jawa-Madura-Bali".

"Tiang-tiang tranmisi dan kawatnya itu biasanya lintasan yang telah dimiliki oleh PLN. Memang terkesan PLN hanya memiliki tanah atas tiang tersebut, tapi lintasan kawatnya itu dianggap tidak bertuan dan tidak dijaga dengan baik sehingga banyak hunian-hunian di bawahnya," katanya.

Karena negara kita yang lembab dan banyak hujan, maka gelombang elektronamagnetik Sutet lebih kuat, sehingga ada pengaruh kesehatan bagi orang-orang yang bertahun-tahun tinggal disekitar apalagi di bawah Sutet itu. "Medan elektromagnetik Sutet kuat, artinya bahaya bagi kesehatan bila ada penduduk di bawah itu yang sebenarnya tidak dianjurkan untuk tinggal di sekitar Sutet," kata Guru Besar UKI ke 41 itu.

Menurutnya terlepas dari efek terhadap Sutet, pembangunan jaringan Sutet 500 KV ini di jalur selatan Pulau Jawa merupakan langkah yang tepat. Namun harus diakselerasi penyelesaiannya. "Disisi keandalannya Sutet dalam pelayanan listrik dan resiko gangguan di sisi selatan itu cukup bagus. Dengan catatan tidak ada hunian. Di negqra maju, Sutet itu dikatakan aman karena memang tidak ada hunian di bawah Sutet," katanya.

Saluran ini, lanjutnya, akan meningkatkan keandalan sistem jaringan Jawa-Madura-Bali. Penambahan saluran baru di sama mendatang tidak lagi hanya berdasarkan pertimbangan tradisional seperti di duani industri, tapi mempertimbangkan berbagai uncertainties, antara lain investasi pembangkit, pertumbuhan beban, ketersediaan fasilitas pembangkit dan transmisi.

Namun sistem transmisi Sutet 500 KV saat ini masih bersifat tunggal dan menghubungkan pusat-pusat pembangkit, dan bebab di Jawa-Madura-Bali yang lebih berupa cluster. Dibanding jaringan yang berbentuk mesh, jaringan Jawa-Madura-Bali ini amat rentan dalam mempertahankan kotinuitas pasokan listriknya bila terjadi gangguan di jaringan transmisinya.

Nuklir Fusi Belum efisiensi

Sejak jaman Orde Baru, saat Habibie masih menjabat Menristek (Menteri Riset dan Teknologi) pernah digalakkan soal nuklir menjadi bahan energi listrik. Menurutnya, PLTN bukan merupakan solusi terbaik karena sangat dipengaruhi oleh situasi hubungan politis antara pemerintah RI dengan negara pemasok uranium.

"Walaupun kita diduga memiliki kekayaan alam berupa uranium, namun kita belaum menguasai teknologi proses memperkaya uranium. Sehingga kita kana terpengarus sepenuhnya dengan negara lain soal limbah radioaktif serta ancaman embargo bahan baku uranium," katanya.

Selain itu, ia protes dalam PLTN pada waktu itu karena teknologi yang akan dipakai adalah 'reaksi fisi'. Artinya dalam proses ini atom uranium itu akan pecah dan menimbulkan reaksi berantai dan limbahnya akan bersifat radioaktif. Sebab bila suatu wilayah bahkan manusia terkena radiasi bisa mencapai 50 tahun melekat.

"Yang saya usulkan adalah 'reaksi fusi' adalah deuterium yang dari radioaktif dan limbahnya netral. Bahan bakunya tidak terlalu radioaktif dan limbahnya aman. Saat ini penelitian nulkir dengan meodel fusi sedang diteliti di negara-negara maju. Sebab belakangan reaktor jenis fusi ini tidak menampakkan efisiensi," katanya.

Pilihan Energi Lain

Kebanyakan teknologi yang ramah lingkungan termasuk pembangkit listrik terbarukan tidak murah. Hal ini bila dibandingkan teknologi berbasis minyak bumi. Sumber-sumber energi yang tergolong energi terbarukan adalah biomass, solar energy, geothermal, hydro power, wind energy dan ecean wave energy. "Indonesia memiliki potensi biomass energy yang cukup besar. Total biomass dari tiga sektor yaitu kehutanan, pertanian dan perumahan yang ekivalen dengan 50.000 MW," katanya.

Sedangkan potensi solar energy di Indonesia sebesar 4,8 Kwh/m/hari atau 200 W per meter per segi. Energi ini merupakan energi keterbaruan yang terbesar potensinya karena wilayah negara kita terletak di garis equator. ***(rmh)

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: