Monday 26 April 2010

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

Koh Young Hun

Tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang
kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena
sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah
lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan
kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi
tinggi dengan alasan yang sama.

Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih presiden baru,
yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima tahun
masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam
masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang
berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar
AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi
ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga
bisa, karena negara ini punya kemampuan.

Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama
yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya
adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang
lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang
akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam
bukunya, The Logic of International Relation, dikenal dua aliran
pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang,
di mana kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu
dengan yang lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki
pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap
bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar
negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang
berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian
sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan
mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena
salahe dewe.

Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan
dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan
oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara
maju terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya
beranggapan bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam.
Pepatah Melayu-nya, karena awak tak bisa menari, lantai pula yang
disalahkan.

Etos Korea

Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah
menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu
melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.

Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau
seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya,
resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi
negara dan bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak
Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah
berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas.
Pertama, "sikap rajin bekerja". Lebih menghargai bekerja secara tuntas
betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk
tetapi tiada pelaksanaannya.

Kedua, "sikap hemat", yang tumbuh sebagai buah dari sikap rajin
bekerja tadi. Ketiga, "sikap self-help", yang didefinisikan sebagai
berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik,
lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan
rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja sama, cara untuk
mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan
individu serta masyarakatnya.

Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita
perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur
bangsa Indonesia. "Rajin pangkal pandai..." dan "sedikit bicara banyak
kerja" adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.

Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi
sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam
Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
nasib sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri.
Sedangkan setiap usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil
ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada
perbuatan ibadah. Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah
sendi-sendi budaya Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong
royong tetap dipelihara dan dilestarikan.

Burung garuda

Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak
burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu.
Dari hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama
ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang
zoologist itu terkejut.

"Ah!" pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. "Sungguh mengherankan
burung garuda itu!" ujarnya kepada pemburu.

"Dia bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi
dia kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!" balas sang pemburu mantap.

"Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!" bantah
si ahli unggas itu.

Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda
mengepak, lalu terjatuh.

"Betul, kan?" ujar si pemburu. "Dia bukan garuda lagi!"

Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi.
Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali
mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.

Dengan penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan
lembut membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: "Garuda,
dalam tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu,
terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat
indah. Terbanglah! Membubunglah! " Burung dilepas, dia mengepak. Semula
tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung
tinggi, karena dia memang garuda.

Nah, barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia.
Bukti kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur
satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu,
Anda punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.

Koh Young Hun Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia, Hankuk
University of Foreign Studies, Seoul, Korea.

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: