Tuesday 6 April 2010

Seksi Transfer Pricing di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baru dibentuk pada 2007. Cikal bakalnya, pada 2005 ditemukan 750 PMA, mengaku merugi hari-hari. Di negeri jiran Singapura, ada aturan PMA setelah 5 tahun kudu untung. Boleh jadi pemerintah telmi. Pengadilan Pajak, di lantai 9 , Dhanapala, Depkeu, sepi jurnalis. Pada 2009 saja, Rp 1.300 triliun indikasi transfer pricing, para pelaku perusahaan besar. Ironisnya, negara bangga peroleh Rp 59,5 triliun dari TKI, sebagian besar dari TKW bercitra babu mudah digauli, sebagaimana Sketsa Persatuan Emirat Arab (PEA). Pun, negara berela hati mengisap candu rokok, menargetkan cukai Rp 59 triliun pada 2010 ini. Nun, di balik lain beribu-ribu triliun dana terhormat rakyat lenyap? Gayus, sih, cuma urusan kecap.

HARI-HARI ini, urusan pajak berkibar-kibar. Gayus Tambunan, karyawan golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bisa membeli rumah miliaran, memiliki rekening bank berisi miliaran. Khalayak mafhum, orang pajak demikian, banyak. Adalah Susno Duadji, polisi bintang tiga, mantan Kabareskrim, Polri, mengungkap masalah ini. Berita mencuat hangat. DJP dan polisi dihujat.

Sebelum kasus pajak Gayus membuncah, dua kali sudah, saya hadir di Pengadilan Pajak, di Gedung Dhanapala, Depkeu Latai 9, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada penghujung Februari dan awal Maret 2010.

Keluar dari lift di lantai pengadilan pajak itu, 30-an kursi biru berjejer tersedia di kanan kiri. Di dua kali ke sana, tampak selalu disesaki tamu. Beberapa orang berdasi, satu dua berjas, membawa koper beroda. Tas besar berisi dokumen keuangan perusahaan itu, tampaknya diperlukan nanti di dalam ruang persidangan.

Saya bertanya ke seorang di seksi transfer pricing DJP, mengapa pengadilan pajak itu seakan sepi jurnalis, sepi liputan media?

“Media mungkin lebih tertarik dengan kasus di KPK, juga di pengadilan Tipikor yang meriah itu.”

Tipikor adalah tindak pidana korupsi.

Bukankah di pengadilan tindak pidana korupsi yang diadili urusan ratusan miliar, di sini kasus ribuan triliun?

“Itulah makanya, kami ajak Anda dari media alternatif ke sini,” tutur Simarmata, sebut saja demikian nama staf DJP itu.

Saya melongok ke bagian tengah ruangan di lantai itu. Ada seonggok pedagang koran dan majalah menepi ke dinding bagaikan tukang koran mojok di pinggir jalanan. Di sebelahnya penjual makanan ringan lengkap dengan aneka minuman. Pemandangan ini bagaikan sebuah warung kecil macam di kantin di belakang sebuah perkantoran. Bukan macam di lantai sembilan sebuah gedung. Agak tidak percaya, bahwa di gedung mentereng, berwibawa, berona kaki lima.

Di pojok lain sebuah lemari es berpendingin sesak dengan aneka minuman, mulai Pocari, Coca Cola hingga Teh botol, di jual di sana. Ada juga di meja pedagang beberapa biscuit dan kue kecil. Salah satu merek biskuit dijual di lantai sembilan di pengadilan pajak itu, produsennya, sedang disidang hari itu, entah untuk yang ke berapa kali.

Aneh memang kelakuan produsen makanan terkenal itu. Pendapatan ekspor mereka tak sampai netto 6%. Akan tetapi penjualan lokalnya memberikan keuntungan lebih dari 40%. Kendati pendapatan lokal 40%, ke segenap income itu menggelayut beban biaya seluruh opersional: termasuk biaya selisih kurs, bunga pinjaman di luar negeri, ekspatriat di luar negeri dan komponen lainnya. Judul PMA, mereka membawa uang sebagai modal investasi, lazim dari mereka menempatkan investasi itu sebagai modal pinjaman. Langgam beginilah yang kebanyakan yang disebut investor ke negeri ini.

Tak terkecuali produsen makan tadi. Di sisi lain, mereka jor-joran juga berpromosi di televisi. Dalam sehari di rentang mempromosikan produknya mencapai 20 spot iklan teve sehari, masing-masing satu spot 30 detik sekitar Rp 17 juta, kalikan 6 jika promosi itu cumja di 6 teve nasional?

Sejenak seakan terjawab pertanyaan di dalam benak saya, mengapa media mainstream enggan menuliskan ini?

“Mereka takut tak kebagian iklan dari produsen makanan ini. Iklan tevenya banyak”

Maka ketika pukul 11.00, di penghujung Februari 2010 itu, saya terkesima di ruang sidang pengadilan, yang mengadili perusahaan KI, sebut saja begitu. Di ruang persidangan, direktur keuangan dan konsultan keuangan terkenal dari perusahaan itu hadir. Mereka duduk di sebelah kiri. Di bagian kanan para pejabat dan staf dari seksi transfer pricing DJP. Kursi di ruangan tersedia untuk sekitar 20 orang, tampak kurang. Saya duduk di bagian kelompok DJP. Hakim di depan bertiga.

Ruangan pengadilan pajak itu, tak sampai seluas lapangan basket. Wakil KI menjabarkan beragam teori bagaimana bisa urusan pembebanan biaya itu terjadi. Mereka berteori ini dan itu, kiri-kanan, mengacu ke adab perdagangan global dengan kalimat ilmiah sulit dicerna.

Padahal secara logika awami saya, segenap makanan yang diekspor KI, dipikul bebannya oleh bangsa Indonesia, oleh belulang konsumen Indonesia. Bisa Anda bayangkan dengan logika ini, makanan yang dilahap konsumen mereka di Eropa, atau bangsa lainnya, yang menjadi tujuan negara produknya, disubsidi biaya pembuatannya oleh orang Indonesia?

“Ini dilakukan sebagai akal-akalan membuat berimbangnya neraca, muaranya mengecilkan pajak, jika perlu minus, tidak bayar pajak,” ujar Simarmata.

Dan anehnya produk makanan KI dijual juga kepada pengunjung pengadilan pajak nan sesak. Tentulah sang pedagang di lantai sembilan gedung Depkeu itu tak paham, toh cuma berdagang memanfaatkan peluang, persis macam industri besar yang memanfaatkan peluang mengakali pajak seumur bangsa ini.

“Itu belum begitu kontras, ada minuman yang dipajang dijual di pojok sana, juga terindikasi perusahaannya melakukan praktek transfer pricing.”

Maksudnya minuman yang dijual oleh pedagang bagaikan warung kaki lima di lantai sembilan di pengadilan pajak itu. Saya terkesima. Ingin lebih jauh mengerti soal transfer pricing.

Mekanisme transfer pricing melalui pembentukan badan hukum Special Purpose Company (SPC) yg didirikan di tax heaven country atau negara bebas pajak. SPC berguna untuk memiliki dan atau menguasai saham badan hukum yang melakukan usaha di Indonesia.

Salah satu modus operandi transfer pricing menjual ke perusahaan afiliasi di luar negeri di negara bebas pajak tadi dengan harga di bawah harga pasar dalam negeri. Nah kelakuan menjual murah ke perusahaan afiliasi itu, sebagai contoh produk batubara. Batubara kalori 6000, satu ton di pasaran Rp 500 ribu, tetapi dijual ke perusahaan afiliasi Rp 200 ribu.

Perusahaan afiliasi itu tentu masih satu pemiliknya. Otomatis perusahaan mendapatkan titipan uang atau untung bersembunyi Rp 300 ribu. Secara faktual dagangan mereka merambah ke pasar bebas, dengan harga pasar. Belum pula pembebanan gaji ekspatriat yang ditempatkan di luar negeri sebagai biaya dalam negeri Indonesia.

Sakti bukan?

“Adakalanya melalui perusahaan afiliasi di luar negeri, menagih ke perusahaan induk di dalam negeri Indonesia, melalui invoice untuk sebuah transaksi yg tak pernah ada. Namun dilakukan pembayaran oleh perusahaan dari Indonesia,” ujar Simarmata.

Masih terkait ke dalam kelompok laku membuat neraca keuangan berimbang antara debet dan kredit itu, maka ada pula kelakuan perusahaan multinasional di sini yang untuk sebuah merek susu saja, harus mengeluarkan royalti lebih Rp 100 miliar setahun.

“Bagi kami ini juga sebuah temuan yang dibuat-buat angkanya. Ngono ya ngono, sing ngono ya ojo ngono,” ujar Simarmata.

Hari itu, menjadi pengalaman luar biasa bagi saya: membuka mata, betapa selama ini bangsa ini telah ditipu oleh Perusahaan Modal Asing (PMA), perusahaan multinasional, dan banyak lainnya, mengangkangi hak-hak publik di mana bangsa memiliki darah pembangunan untuk publik mendapatkan pelayanan lebih baik. Laku menghisap darah pembangunan melalui transfer pricing sudah macam air bah nan digerus dari sumber Indonesia, untuk dihisap hingga kering kerontang.

“Bisa Anda bayangkan pada 2009 saja indikasi praktek transfer pricing mencapai seribu tiga ratus triliun rupiah,” tutur Simarmata.

Maka melihat angka setahun demikian, tidak berlebihan bila saya menulis lema bahwa perampokan akan bangsa ini memang terjadi hingga sumsum dan belulang rakyat, melalui praktek penggelapan pajak.

Maka ketika saya mengetahui di undang-undang pajak, ada pasal yang mengatur bahwa penggelapan pajak bisa diselesaikan di luar pengadilan dengan denda maksimal 400% dari pajak yang digelapkan, maka saya menuliskan: inilah lagi produk melukai belulang rakyat, yang pernah dihasilkan anggota DPR dan pemerintah, sejak reformasi ini. UU yang menjadi satu-satunya di dunia menempatkan bahwa penggelapan pajak bukan kejahatan besar.

Secara terang-terangan, ketika memandu topik transfer pricing di Presstalk QTV, saya tanyakan kepada Achsanul Kosasi, anggota Komisi XI DPR RI, apakah pembuat UU di DPR punya nurani?

“Memang undang-undang soal penyelesain penggelapan pajak itu melukai rasa keadilan. Kita akan coba merevisi undang-undang itu. Namun mungkin baru masuk dalam agenda di 2011,” jawab Achsanul Kosasi.

Bagaimana permainan pajak, terutama transfer pricing tak kian menggila.

Kalaupun ada yang diliput media, hingga terbukti praktek transfer pricing macam yang dilakukan PT Asian Agri mencapai lebih Rp 1,3 triliun, sebagaimana pernah dimuat di laporan utama Tempo, hingga kini proses penyelesaian pengadilannya adem ayem. Wartawan yang menuliskan seperti Metta Dhamasaputra, sempat berurusan dengan aparat kepolisian. Ketika saya menjabat Ketua Umum PWI-Reformasi, kami memberikan perhargaan bagi Metta sebagai journalist of the year pada 2007.

Karenanya bagi saya, urusan transfer pricing dan undang-undang pajak, macam satu kesatuan paket. Ada indikasi kuat bahwa undang-undang itu dibuat karena intervensi tangan-tangan tambun yang selalu berbisnis bermodal minim, jika perlu modal nol bebek dibukukan, tetapi mengeruk laba tambun-menambun dari bangsa ini..

Urusan keuntungan sebesar-besarnya itu, secara massif dapat pula ditemui di pengadilan pajak terhadap sebuah perusahaan otomotif mapan. Pada kasusnya di 2005, misalnya. Selama ini mereka selalu membuai bertameng menampung ribuan bahkan puluhan ribu karyawan. Tetapi tameng kemuliaan itu antara bumi dan langit jika Anda simak di pengadilan pajaknya.




HARI ITU, saya datang ke Depkeu untuk melihat pengadilan pajak sebuah perusahaan otomotif itu. Sembari menunggu waktu, saya bertemu dengan beberapa orang dari seksi transfer pricing DJP, di kantin di bawah gedung. Secangkir kopi pahit menemani.

“Sebagaimana hari-hari lalu, sidang jarang ontime,” ujar Simarmata.

“Lebih parah, bukan saja tidak tepat waktu, wajib pajak kini seakan mengatur jadwal.”

“Kami ini padahal bagian dari Depkeu, tetapi kini sejak reformasi sudah macam tamu di Departemen sendiri.”

Maka ketika saya masuk ke ruangan sidang, seperti biasa, ruangan tak sampai seukuran lapangan basket itu, sesak. Kursi untuk tim DJP pun kurang. Harus ada tiga kursi tambahan dari luar, termasuk satu untuk saya.

Perusahaan otomotif itu pada 2005 laba kotor untuk salah satu produk terkenalnya sebut saja mobil V untuk lokal 2, 91 % saja. Sementara laba kotor penjualan ekspor – 7,98%. Untuk produk mobil Z, laba kotor lokal, 2, 58%, ekspor -14,36%. Melihat angka ini, agaknya timbul pertanyaan di benak Anda?

Pertama, jika ekspor hanya untuk mendapatkan laba bruto minus, dan minusnya tak berkira, untuk apa melakukan ekspor?

Kedua, jika memproduksi mobil hanya untuk untung bruto di 2% lebih, buat apa memproduksi dan menjual mobil di negeri ini, toh nanti jika di-netto-kan, pastilah minus juga keuntungannya. Padahal entah karena lobby produsen otomotif di negeri ini, sejak era 80-an hingga saya mengetikkan tulisan ini, program utama Departemen Perindustrian, menjual mobil dan motor sebanyak-banyak, tanpa peduli partumbuhan sarana jalan stagnan.

Dan hari itu, bagi saya membuncah lagi pertanyaan aneh lainnya. Bagaimana bisa kelompok usaha perusahaan otomotif itu, sebagaimana berita di koran, bahwa untung mereka pada 2009 mencapai Rp 20 triliun lebih, tetapi unit usaha produksi berminusan pendapatannya?

Nah, akhirnya saya menduga, bahwa jika untuk keperluan citra dan pasar di bursa saham, maka produsen merilis untung tentang kelompok usaha. Tetapi jika mengahadapi pajak, unit-unit usaha sekan tercerai berai mempermainkan angka pembukuan, termasuk melakukan indikasi praktek transfer pricing, macam laku yang sedang disidangkan untuk kelakuan mereka pada 2005 itu.

Jika seksi transfer pricing baru ada 2007 di DJP, Anda bisa bayangkan beribu-ribu triliun telah mengalir bagaikan bah bandang mengalir ke luar negeri, dilakukan banyak perusahaan di Indonesia. Di tahun 2005 juga, sebagaimana pernah di tulis detik.com, 750 PMA mengaku rugi berbisnis di Indonesia. Dan anehnya dari 750 PMA itu hingga kini masih saja bercokol di sini. Bukankah mereka ahirnya layak disebut penghisap belulang anak bangsa? Bukan guma daging yang mereka gigit, tetapi hingga sum-sum bangsa ini.

Dan jika pemimpin, opembuat undang-undang di bangsa ini, seakan ikut melegalkan proses penggelapan pajak tambun menambun tahun-menahun, maka saya tak punya lema lain selain menyebut mereka: biadab! Atau Anda punya diksi yang lebih halus?

Sebagai penutup tulisan pertama tentang transfer pricing ini, ketika, di televisi saya simak bahwa Satgas mafia peradilan meminta mengawasi pengadilan pajak: saya pribadi menuliskan: kudu, waqjib hukumnya! Mumpung sudah pula menggelinding masalahnya. Namun, urusan Gayus sih receh. Di sana lebih utama urusan ribuan triliun yang selama ini seakan menguap-uap, good bye dari bangsa ini. (bersambung)



Sumber
Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: