Monday, 19 April 2010
Aneurisma otak yang belum pecah pada umumnya gejalanya sulit dikenali. Padahal, pengenalan gejala sejak awal menjadi sangat penting agar penanganan lebih dini dan tidak berakibat fatal.
Hal itu dikemukakan Prof Dr dr Eka Julianta Wahjoepramono Sp BS, Sabtu (17/4), yang hari itu dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Dalam kesempatan itu, Prof Eka membacakan orasi ilmiah ”Bedah Saraf: Dari Panca Indera ke Indera Maya, dari Operasi Batang Otak ke Aneurisma Raksasa”.
Pidato pengukuhan itu menjelaskan perjalanan bedah saraf yang semula mengandalkan pancaindra semata hingga muncul berbagai alat canggih yang membuat bedah saraf semakin berkembang. Acara pengukuhan dihadiri Prof Peter Black selaku Presiden World Federation Neurosurgical Societies, Harvard Medical School.
Dalam orasinya Prof Eka memaparkan, aneurisma ialah penggelembungan pembuluh darah otak yang bisa terjadi di setiap arteri di otak, khususnya pada percabangannya dan paling banyak terjadi pada daerah sirkulus arteriosus willisi yang ada di dasar tengkorak. Penggelembungan darah otak itu terjadi karena tidak terbentuk lapisan otot pada pembuluh darah otak sehingga dinding menjadi tipis yang akan menggelembung karena semburan aliran darah dalam waktu lama. Jika aneurisma pecah, terjadilah pendarahan di otak.
Pada sebagian kecil penderita dapat timbul gejala akibat tekanan pada aneurisma raksasa, yakni pada struktur saraf di sekitarnya. Sebanyak 15-30 persen penderita pecah aneurisma raksasa pada struktur otaknya mengalami peringatan awal berupa sedikit rembesan darah dari aneurisma otak. Gejala yang timbul antara lain nyeri kepala hebat disertai kaku kuduk.
Aneurisma yang tidak dikenali gejalanya amat berbahaya karena bisa terjadi pecah ulang. Pecah kedua kalinya selalu berakibat lebih fatal dan seterusnya. Eka mengungkapkan, mengenal tanda pecahnya aneurisma selagi masih ringan amat penting agar pasien segera didiagnosis dan ada tindakan secepatnya untuk mencegah pecah ulang. Merupakan tugas para dokter bedah saraf untuk mengedukasi masyarakat agar mengenal tanda-tanda dan gejala pecahnya aneurisma otak sebelum jadi fatal.
Terapi guna menangani aneurisma otak biasanya dengan prosedur kliping atau embolisasi. Kliping ialah pembedahan mikro dengan menjepit leher aneurisma sehingga aneurisma tidak lagi teraliri darah dari pembuluh darah induk. Tingkat sukses penjepitan mencapai 80-90 persen. Sementara embolisasi adalah penyumpalan atau penyumbatan aneurisma. Prosedur-prosedur tersebut sudah dapat dilakukan oleh dokter-dokter di Indonesia.
Dia mengatakan, penanganan aneurisma memang masih sangat mahal, apalagi jika pasien datang dengan kondisi berat sehingga harus di ruang rawat intensif. ”Kami, para dokter, berupaya memberikan bantuan, misalnya membebaskan pasien tidak mampu dari biaya dokter. Tetapi, kalau sudah menggunakan ruang perawatan intensif di rumah sakit memang menjadi sangat mahal karena bisa mencapai jutaan rupiah per hari,” ujarnya. Ketersediaan dokter bedah saraf pun sangat terbatas.
Prof Black mengatakan, idealnya rasio dokter bedah saraf dengan populasi adalah 1:250.000. Namun, di Indonesia, rasionya masih 1:2.000.000. (INE)
Sumber
Jakarta, Kompas
0 comments:
Post a Comment