Monday, 12 April 2010
Hati-hati jangan terlalu banyak makan gorengan, nanti kolesterolnya tinggi lo,” begitu seru seorang rekan mengingatkan. Penyakit yang kerap diidentikkan dengan makanan berlemak ini memang cukup familier di masyarakat. Popularitasnya bahkan setara dengan dua penyakit gangguan metabolik lain seperti hipertensi dan diabetes melitus (DM).
Sayang, walau telinga sudah tak asing dengan kata ini, tetap saja tak banyak orang yang memahami apa sebenarnya kolesterol dan bagaimana mengendalikannya. Suka atau tidak, tubuh kita membutuhkan kolesterol untuk banyak hal. Mulai dari pembentukan hormon, proses pertumbuhan hingga pembentukan membran sel dalam tubuh. Dan seperti komponen lemak lainnya, kolesterol juga diperlukan sebagai cadangan makanan terbesar.
Tanpa lemak, manusia bisa merasa cepat lelah saat beraktivitas. Pada kondisi normal, tubuh dapat berlaku cerdas dengan menyintesis kolesterol untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, seiring dengan makin meluasnya gaya hidup serba instan yang dianut sebagian besar masyarakat di perkotaan, kadar kolesterol pun mulai tidak proporsional.
Secara garis besar, kolesterol terbagi menjadi dua, yaitu low density lipoprotein (LDL) yang sering dikenal sebagai kolesterol jahat serta high density lipoprotein (HDL) alias kolesterol baik. Meski masih bersaudara, LDL dan HDL memiliki peran dan sifat yang sangat berbeda.
LDL bersifat ringan, sehingga mengambang di aliran darah. Tugasnya, membawa lemak yang dibutuhkan tubuh dari hati menuju ke bagian-bagian tubuh yang memerlukan seperti sel otot jantung, otak dan lain sebagainya. Selama perjalanan membawa lemak melalui pembuluh darah, LDL tak sungkan meninggalkan sampah berupa kelebihan lemak pada dinding-dinding pembuluh darah.
Sementara itu, HDL yang bersifat lebih berat, berfungsi membersihkan dinding pembuluh darah dari kelebihan lemak dan membawanya kembali ke hati. Kelebihan lemak itu lantas dipecah dan dibuang ke kantung empedu. “Bila diibaratkan, LDL seperti pembuang sampah di jalan, sementara HDL sebagai tukang sapu,” kata dr Tatuk Himawan dari RS Kasih Ibu Solo.
Sampah lemak
Dalam kondisi tertentu, entah lantaran gaya hidup tidak sehat atau lantaran komplikasi penyakit tertentu, rasio jumlah LDL tak seimbang dengan jumlah HDL. Alhasil, sampah lemak yang menempel di dinding pembuluh darah tak seluruhnya bisa dibersihkan oleh HDL.
Tumpukan lemak di pembuluh darah itu lantas mengeras dan membentuk plak. Cerita selanjutnya bisa ditebak, tumpukan lemak pada dinding pembuluh darah itu mengakibatkan pembuluh darah kehilangan elastisitasnya, kondisi ini disebut aterosklerosis.
“Tumpukan lemak di dinding pembuluh darah juga menghambat aliran darah sehingga tekanan darah meningkat. Lebih berbahaya lagi bila salah satu tumpukan lemak terlepas dan menyumbat aliran darah, akibatnya ada organ yang tidak mendapat pasokan darah,” papar Tatuk.
Pembuluh darah yang terblokade otomatis menyebabkan tekanan darah meningkat. Kalau sudah melewati ambang toleransi, pembuluh darah bisa pecah. Apabila kondisi tersebut terjadi pada pembuluh darah di otak, maka pasien bakal langsung terserang stroke. Sementara apabila terjadi pada pembuluh jantung, pasien berpotensi terkena serangan jantung.
Cukup menakutkan bukan? Satu hal lagi, seperti karakter dua penyakit metabolik lainnya, yaitu hipertensi dan DM, maka kadar kolesterol tinggi atau hiperkolesterol sering kali tak menampakkan gejala apapun. Untuk itu pemeriksaan kolesterol secara rutin amat disarankan. Apalagi, tambah Tatuk, tren pasien hiperkolesterol sudah bergeser.
Di masa lalu, kolesterol boleh dibilang sebagai gangguan kesehatan pada orang lanjut usia. Namun, seiring meluasnya penganut gaya hidup serba instan, maka kini orang berusia muda pun punya potensi terkena hiperkolesterol. “Hobi makan makanan berlemak dan gorengan, ditambah malas berolahraga dan perokok mempertinggi faktor risiko peningkatan LDL,” timpal dia.
Sumber
Solopos.com
0 comments:
Post a Comment