Monday 24 August 2009


Ada fenomena di masyarakat kita yang sangat menarik, karena lucu tapi cukup berbahaya, yakni terpisahnya kesalehan individual dan sosial. Di sisi lain, muncul pula simbol-simbol agama yang dijadikan garansi, seolah-olah bila seseorang telah melakukan ritual keagamaan tertentu, seperti salat, puasa, dan haji, ia merasa hidupnya sudah mendapat jaminan kesucian, sampai-sampai nyaris boleh melakukan kekejian dan kezaliman sosial. Karena itu, tidak jarang kita menjumpai seseorang yang secara individual sangat saleh, akan tetapi secara sosial melakukan tindak kekerasan, melancarkan aksi teror dan bom bunuh diri, seperti para “pengantin” Noor Din M. Top itu.

Kini, dalam bulan Ramadan, umat Islam kembali diwajibkan menunaikan ibadah puasa dan dianjurkan memperbanyak amal saleh. Seperti biasanya, aktivitas keagamaan di bulan suci ini akan tampak semarak. Ramadan tetap menjadi ajang tayangan televisi yang menyuguhkan nilai ritual-religius. Mulai sahur, berbuka, bahkan sampai sahur kembali, acara televisi diformat begitu rupa dengan aneka ceramah dan sinetron agama, bahkan iklan pun dibungkus nilai-nilai ketuhanan.

Ironisnya, seiring dengan meningkatnya aktivitas keagamaan di negeri ini, kian meningkat pula kualitas dan kuantitas tindak kriminal serta negasi terhadap nilai-nilai moral di berbagai lapisan masyarakat. Hampir setiap hari /headline/ media massa selalu dihiasi oleh berita-berita kezaliman sosial, dari perampokan, pembunuhan, kekerasan politik, hingga aksi terorisme. Lebih ironis lagi, banyak dari para pelaku tindak kekerasan itu yang mengklaim dirinya sebagai muslim.

Nah, di bulan yang sarat ganjaran ini, kita harus mencermati kembali “keberpuasaan” sekaligus keberagamaan kita selama ini, sehingga puasa yang akan kita lakukan selama sebulan penuh benar-benar transformatif dan fungsional. Ini sungguh penting, karena Nabi SAW telah memberikan /early-warning/ bahwa "Sekian banyak orang menjalankan puasa, akan tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga".

*Pemahaman yang salah*

Ada sebuah penilaian bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh bagaimana ia memandang dan memahami ajaran agamanya. Penilaian itu, secara teoretis dan intelektual, memperoleh legitimasi dari beberapa tesis yang ditulis oleh para ilmuwan, semacam Max Weber, Clifford Geertz, atau Robert N. Bellah. Para ilmuwan ini, misalnya, mengatakan dan membuktikan bahwa perilaku sosial yang mendukung pertumbuhan usaha modern selalu mempunyai akar-akar dalam ajaran agama yang melahirkan dimensi moral dan etik. Ini berarti, keberhasilan dari sistem ekonomi dan poli­tik bangsa sangat bergantung pada kuat dan lemahnya sistem etika bangsa yang bersangkutan.

Di sinilah posisi agama cukup signifikan dan sentral, mengingat tak satu pun agama yang dianut oleh manusia di muka bumi ini yang tidak mengajarkan etika tentang bagaimana hidup yang baik, penuh cinta, kasih, damai, dan sayang serta mengatur bagaimana cara berinteraksi dengan
sesamanya.

Persoalannya, ada pemahaman yang salah mengenai doktrin agama yang hidup di masyarakat kita. Agama hanya dipahami sebagai pengatur perilaku individu seseorang terhadap Tuhannya. Agama hanya dipahami untuk memuja dan memuji keagungan Tuhan. Sehingga, segala sesuatu bisa dilakukan atas nama dan demi keagungan Tuhan. Dari sini, muncul suatu sikap rasa takut dan berdosa ketika melakukan larangan ritual yang bersifat vertikal (/hablun minallah/). Tapi, anehnya, sikap keras itu tidak berlaku ketika seseorang melakukan dosa-dosa sosial yang sifatnya horizontal (/hablun minannas/).

Padahal, dalam agama, ketika seseorang telah berdosa secara individual terhadap Tuhan, ia cukup memohon ampun (bertobat) dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Tetapi, manakala melakukan dosa sosial, misalnya terorisme, yang nyata-nyata merugikan banyak orang, dosanya tidak akan diampuni sebelum meminta ampun dan mengakui atas kezaliman sosial yang dilakukan.

Di sisi lain, agama tanpa tanggung jawab sosial sama saja dengan pemujaan (/cult/) belaka. Tidak perlu seseorang berpuasa, misalnya, jika tanpa dibarengi dengan tanggung jawab sosial. Sebab, agama bukanlah pelarian semu dan dalih untuk mencari ketenteraman spiritual semata. Agama juga bukan hanya menjadi urusan individu untuk mendapatkan ketenangan dan menjadi media penebus dosa setelah bergelimang kezaliman.

*Fungsional*

Ibadah puasa memang dikenal dengan sifatnya yang sangat pribadi. Artinya, berbeda dengan ritual yang lain, puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh pelakunya sendiri dan Tuhannya. Seseorang bisa saja makan dan minum sepuasnya di kamar tertutup, misalnya, lalu keluar seraya mengakui kepada publik bahwa ia tengah berpuasa.

Meskipun demikian, bukan berarti puasa hanya berdimensi individual-teologis belaka tanpa dimensi sosial. Nabi SAW menegaskan:

"Betapa banyak orang berpuasa tapi sia-sia belaka, mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga, lantaran mengabaikan etika sosial atau melakukan dosa sosial."

Artinya, jika sikap mudah mendakwa, memvonis, memprovokasi, meneror, merasa paling benar dan suci, serta sikap kerdil lainnya terhadap sesama masih saja subur dalam diri sang muslim, baik secara individual maupun sosial, padahal sekali dalam setahun ia selalu berpuasa, puasa itu tak akan membuahkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga. Dan itu berarti kekalahan bagi sang muslim, bukan keme­nangan.

Nah, dalam kehidupan masyarakat yang kini lebih didominasi corak solidaritas organis, meminjam istilah Emile Durkheim, di mana hubungan antarsesama lebih diorientasikan kepada /vested of interest/, maka melalui ibadah puasa umat Islam dapat menarik tali hubungan sosial yang sudah kebablasan itu ke dalam koridor yang harmonis atas dasar persaudaraan kemanusiaan (/ukhuwah insaniyah/), kesamaan (/al-musawah/ ), dan keadilan (/al-'adl/).

Ketika kualitas kesenjangan sosial cenderung menguat antarlapisan sosial, dan orang-orang rentan teralienasi secara struktural dan kultural, maka melalui ibadah puasa yang fungsional dan transformatif umat Islam dituntut untuk mengembangkan kepedulian dan solidaritas sosial yang manusiawi sebagai implementasi dari pesan luhur Nabi SAW:

"Tidak beriman seseorang jika dia tidur nyenyak karena kekenyangan, sementara tetangganya dibiarkan menggelepar kelaparan."

Dengan demikian, puasa transformatif- fungsional mendorong kita untuk selalu introspeksi dan meningkatkan kualitas diri. Puasa transformatif tidak hanya membudayakan puasa seremonial yang biasa dihiasi dengan membludaknya budaya konsumerisme mengiringi buka puasa dan menjelang hari raya. Puasa transformatif bukan hanya menciptakan pribadi yang tahan lapar dan haus di kala siang, namun tanpa daya untuk mengubah diri menjadi pribadi yang kukuh di saat Ramadan meninggalkan kita.

Puasa transformatif dan fungsional adalah puasa yang membuat kita lebih baik dan tekun dalam beribadah dan beramal saleh, membuahkan /sense of awareness/ terhadap si miskin dan kaum yang tertindas. Puasa transformatif membuat si pelakunya bersikap moderat, humanis, inklusif,
dan antiterorisme.

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: