Monday, 24 August 2009
Matahari baru saja tidur di bantaran Bengawan Solo, di Kabupaten Lamongan, 25 tahun silam. Sebuah surau kecil diterangi lampu teplok. Belasan siswa madrasah duduk melingkar. Masing-masing mereka bertafakur pada Al Quran. Suaranya melengking seperti ingin menyapa rembulan yang baru saja singgah. Aku berjalan keliling kampung.
Jalanan sepi. Tak ada orang di luar. Semua keluarga sedang mengaji. Orang tua membimbing anak-anaknya menekuri kitab suci atau menemaninya membuat PR sekolah. Aku jadi sunyi. Kuintip rumah Bu Rik. Ia guru kami waktu kecil. Ibu guru yang terus membujang di usia tua ini juga sedang belajar, membaca kitab atau sinau seperlunya. Ia tak menyalakan teve. Waktu itu, hanya satu dua orang saja yang punya teve. Itu pun setelah anak-anak mereka sukses merengkuh hidup di Surabaya dan memberi oleh-oleh modernisasi ke desa itu.
Setiap keluarga percaya ketika maghrib tiba tak baik keluar rumah. Kalau ingin keluar rumah, pastilah pergi ke mushola. Jika tak ada keperluan yang mendesak, mereka memilih berada di rumah, mengambil kitab sinau seperlunya: mengerjakan PR, menderas al Quran, atau peri ke Gus Muk, menimba ilmu darinya. Gus Muk adalah kiai di desa kami.
Jalanan makin sunyi. Setiap cahaya hanya datang dari rumah-rumah yang belajar. Setiap suara adalah suara anak-anak mengaji, orang tua menderas kitab suci. Tak ada suara radio yang sewaktu siang sering terdengar siaran sandiwara brahma kumbara. Itulah tradisi kami di desa kecil, di tepi bantaran sungai Bengawan Solo.
Jika ada anak yang berlalu lalang di jalanan, Cak Adah, tukang kayu yang tak tamat SD itu selalu menghardik. "Hoiii.. cilik-clik keluyuran. Sinau sana," Cak Adah bisa menghajar anak-anak yang di waktu matahari menjelang tidur masih di jalanan apalagi yang masih main layangan. Kerap anak-anak yang bandel dilempar lumpur bengawan. Cak Adah seolah menjadi polisi untuk desa ini agar anak-anak belajar. Selain Cak Adah, setiap kakak yang sudah usia SMU, bapak-bapak, dan hampir semua orang tua menjadi polisi untuk setiap anak sekolah. Mereka mengawasi anak-anaknya, anak tetangganya agar belajar usai shalat maghrib. Pemilik teve, Pak Lurah, juga baru menyalakan televisinya usai shalat Isya atau pukul 20.00 WIB, sambil menantikan "dunia dalam berita" pukul 21.00 WIB dan melanjutkan dengan film malam atau dangdutan.
Tradisi itu sudah berumur lusinan tahun lalu. Rata-rata mereka yang belajar kini menjadi orang yang "berpikir." Mereka yang tak belajar, hidupnya kelak hanya mengandalkan otot untuk mencari nafkah. Kadang mereka menjadi pencuri. Bupati Lamongan Masfuk juga berasal dari desa ini. Seluruh keluarganya menjadi orang "berpikir". Rata-rata meraih bangku sarjana dan menjadi pejabat, ustad, atau dokter.
Ulama, dosen, dan tokoh agama di Surabaya berasal dari desa di tepi Bengawan Solo Kabupaten Lamongan ini. Sebut saja Masjid Mujahidin, Masjid Kemayoran, Masjid Sunan Ampel di kompleks IAIN Sunan Ampel diurus oleh ulama-ulama jebolan desa ini. Mereka murid-murid Gus Muk yang patuh. Juga dosen-dosen di IAIN, di Unair, juga ada yang alumni desa ini.
Di tepi bantaran Bengawan Solo, aku makin kesepian di jalanan. Aku tak kuasa lagi berjalanan keliling kampung. Karena sebentar lagi, aku tahu, Cak Adah akan menghardikku dari belakang. "Hoiii...belajar sana. Jangan keluyuran..! !!"
Artikel Yang Berhubungan
Labels: just info
1 comments:
bener tuh,belajar emang wajib
Post a Comment