Saturday, 20 February 2010
Penyakit kulit, kerap dihubung-hubungkan dengan perilaku hidup dan kebersihan seseorang. Lingkungan kotor dan gaya hidup yang tidak memperhatikan kebersihan kerap dipersalahkan atas timbulnya penyakit semacam panu, kutu air atau kadas.
Tapi, siapa sangka penyakit kulit yang lebih parah nyatanya juga bisa terjadi pada orang yang sangat menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan. Pasalnya, penyakit kulit tak selalu disebabkan oleh jamur atau bakteri, obat-obatan yang diharap bisa menyembuhkan pun dapat mengakibatkan reaksi alergi berupa penyakit kulit akut yang berujung pada kematian.
Reaksi alergi terhadap obat sangat mungkin muncul dalam bentuk kelainan kulit. Kelainan ini bisa berupa ruam merah yang timbul di beberapa bagian tubuh, dan terasa gatal, kulit bersisik, melepuh seperti luka bakar atau mungkin juga berbentuk seperti penyakit biduran. Sayangnya, gejala alergi obat ini sering kali tak lekas terdeteksi.
Dalam beberapa kasus, pasien baru datang berobat setelah kondisinya makin parah. Boleh jadi, hal ini tak lepas dari sikap sebagian kalangan yang kerap meremehkan munculnya kelainan kulit. “Sebagian orang lebih suka mengobati penyakitnya sendiri dengan obat yang banyak beredar di pasaran. Padahal, pada kasus alergi obat, pengobatan dengan salep yang banyak dijual di pasaran sama sekali tidak efektif,” kata ahli penyakit kulit kelamin RS Islam Surakarta, dr Aminah Alaydrus SpKK.
Lantas mengapa tubuh seseorang bisa bereaksi begitu rupa terhadap pemakaian obat tertentu? Begini penjelasannya, setiap obat tersusun dari kandungan beberapa zat aktif. Melalui proses metabolisme, zat-zat tersebut dipecah, sebagian di antaranya bereaksi hingga membentuk zat yang stabil dan berguna untuk mengobati penyakit tertentu, sementara sisanya dibuang melalui saluran pembuangan seperti, keringat, urine atau feses.
Tetapi, pada bebarapa kasus, zat aktif tersebut malah direspons tubuh sebagai racun atau protein asing. Akibatnya, alih-alih menyembuhkan, zat aktif tersebut malah mengakibatkan necrosis, yaitu kematian sel-sel tubuh khususnya kulit, genotoxocity hingga hipersensitifitas.
Manifestasi reaksi zat aktif obat itu, paling sering muncul pada kulit dalam bentuk ruam dan kemerahan atau pengelupasan kulit. “Anda mungkin pernah dengar mengenai bayi yang dilahirkan cacat akibat sang ibu kerap meminum obat-obatan jenis tertentu. Nah, itu adalah salah satu contoh kasus genotoxocity akibat reaksi alergi obat,” timpal ahli penyakit kulit dan kelamin, Prof Dr dr Harijono Kariosentono SpKK.
Dari ketiga bentuk reaksi tersebut, kasus yang paling banyak terjadi adalah necrosis dan hipersensitivitas, atau gabungan keduanya. Dalam banyak kasus, reaksi alergi obat terjadi dalam rentang waktu antara satu atau dua hari setelah pemakaian obat. Tetapi reaksi itu, bisa juga baru muncul delapan pekan setelah pemakaian obat.
Tak jeli reaksi
Sayangnya, tak semua orang jeli dengan reaksi ini. Aminah mengatakan, penyakit kulit akibat reaksi alergi obat lebih sulit dideteksi daripada alergi kulit akibat makanan. Alergi pada makanan atau benda lainnya, kata dia, bisa diketahui melalui tes alergi. Namun, reaksi alergi terhadap obat baru bisa diketahui setelah yang bersangkutan mengonsumsi obat dengan kandungan zat tertentu. “Kalau hal itu terjadi, segera hentikan pemakaian obat dan periksakan diri ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut, Semakin cepat ditangani semakin baik,” katanya.
Penyakit kulit akibat reaksi alergi obat memang tak bisa diremehkan. Selain membuat pasien tidak nyaman lantaran rasa perih yang timbul dari kulit tubuh yang terkelupas. Kondisi ini juga membuat pasien rentan terhadap infeksi dan kuman penyakit lainnya. Hilangnya kulit ari menyebabkan pasien kehilangan sebagian alat perlindungan diri dari kuman penyakit. Infeksi yang terjadi pada kulit tubuh yang luka akhirnya meluas hingga ke organ dalam dan bisa berakibat kematian.
0 comments:
Post a Comment