Thursday, 4 February 2010

Hati-Hati Minum Obat Pilek

Suatu penelitian retrospektif yang dilaporkan di New England Journal of Medicine (NEJM) baru saja diumumkan lewat internet mendahului publikasi resmi. Sudah tentu karena makalah berjudul “Phenylpropanolamine and the Risk of Hemorrhagic Stroke” itu dianggap penting untuk segera disebarluaskan.

Fenilpropanolamin (FPA) memang banyak dipakai dalam obat pilek dan penghilang nafsu makan, meski sejak 20 tahun silam dilaporkan adanya kasus perdarahan di selaput otak atau di dalam otak setelah makan FPA. Ia merupakan salah satu komponen simpatomimetika (berefek serupa perangsangan saraf simpatik) yang digunakan dalam obat pilek.

Menurut urutan efektivitasnya, komponen sejenis dalam obat pilek adalah: efedrin, pseudoefedrin, FPA, dan etilefrin. Obat pilek berbahan komponen tersebut bekerja dengan menyempitkan pembuluh darah di selaput lendir hidung, sehingga pembentukan lendir berkurang. Di samping itu masih ada golongan antihistamin yang mempunyai efek lemah untuk membantu meringankan gejala melalui efek antialergi, yang sering menyertai pilek

Biasanya dua komponen ini dicampur dalam obat pilek. Komponen lain, jika ada, merupakan tambahan yang berlebihan, kecuali bila obat tersebut memang diindikasikan pula untuk gejala lain, misalkan demam, sehingga ditambahkan analgetik seperti parasetamol.

Sebenarnya, kalau hanya untuk pilek, dosis FPA cukup 12,5 - 25 mg per tablet, per kali. Sayangnya, FPA banyak disalahgunakan untuk menguruskan badan. Sedangkan untuk mengurangi nafsu makan dibutuhkan dosis sebesar 75 mg atau lebih. Padahal justru pemakaian dosis besar telah dihubungkan dengan kejadian stroke hemoragik (berdarah), terutama pada wanita (umumnya wanita muda yang ingin kurus).

Risiko kejadian pada wanita ini mencapai 16.58 kali lebih sering dibandingkan dengan kejadian stroke hemoragik pada orang yang tidak makan FPA. Sudah tentu risiko ini sangat tinggi, malahan lebih besar ketimbang risiko kejadian kanker paru-paru oleh rokok (+ 11.0). Karena pria jarang makan FPA untuk menguruskan diri, mungkin inilah penyebabnya angka risiko untuk wanita lebih besar dibandingkan dengan pria.

FPA sudah lama saya kenal sebagai obat pilek yang kurang baik, bukan saja karena efektivitasnya lebih rendah, tetapi juga karena ia dapat meninggikan tekanan darah bila dipakai pada dosis 25 mg atau lebih. Di negeri kita, sekitar 10 tahun lalu, karena masalah efek sampingnya sudah dikenal bahkan waktu itu (hanya buktinya kurang solid)

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Depkes RI, memberlakukan pembatasan dosis FPA dalam obat pilek hingga 15 mg per tablet. Namun, entah mengapa banyak pabrik kemudian mendapat izin menggunakan FPA dalam dosis 25 mg. Padahal, bukankah hal ini dapat menambah risiko perdarahan di otak ? Itu sebabnya saya sangat setuju bila sebagai obat obesitas FPA sebaiknya dilarang, sedangkan sebagai obat pilek dibatasi dosisnya.

Sementara itu etilefrin sifatnya juga seperti FPA dan kurang baik untuk pilek, sehingga perlu pengaturan baru oleh Ditjen POM. Tinggal efedrin dan pseudoefedrin yang cocok untuk obat pilek, karena dalam dosis kecil pun efektif, juga tidak menaikkan tekanan darah atau denyut jantung secara signifikan.

Di antara kedua jenis komponen ini, sebenarnya efedrinlah yang lebih baik. Sayang sekali industri obat cenderung tidak menggunakannya, meski efektivitasnya unggul, semata-mata karena margin keuntungannya lebih rendah (fakta ini telah saya konfirmasikan dengan produsen obat pilek terbesar di AS, yang juga menggunakan FPA, dan diiyakan). Betapa pun, baik efedrin maupun pseudoefedrin dalam obat flu perlu dibatasi dosisnya.

Kini bagaimana kita sebagai konsumen mesti bersikap ? Saya kira ya jelas, pilihlah yang mengandung efedrin atau pseudoefedrin saja, dengan dosis kecil. Bila masih mau pakai FPA, ya juga dosisnya tidak lebih dari 15 mg/tablet saja, dan tentu jangan makan dua tablet sekaligus. Obat menguruskan badan janganlah dimakan sendiri tanpa petunjuk dokter.

TAMBAHAN: Obat pilek untuk bayi dan anak terlupakan untuk diatur, rupanya ini juga mengandung FPA terlalu tinggi, malahan ada juga yang mengandung phenylephrine, yang efek sampingnya banyak.

Prof. Iwan Darmansjah, SpFK
Professor Emeritus Farmakologi Klinik, FKUI

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: