Saturday 7 November 2009

Anggota Tim Pencari Fakta (TPF) dan sejumlah kalangan kompak menghujani DPR dengan kecaman. Sikap DPR yang membela Polri dalam Raker Kamis (5/11) malam, dinilai tidak peka dengan aspirasi rakyat.

Selain itu, rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kapolri tersebut dinilai hanya sebuah skenario agar Polri dianggap benar.


”Sementara DPR yang namanya perwakilan rakyat justru tiarap dalam pemberantasan korupsi. Jadi ketika masalahnya menyangkut korupsi kecenderungannya diam. Partai-partai yang mengusung isu korupsi juga tiarap, ada apa ini?” ujar anggota TPF, Anies Baswedan di Kantor TPF, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (6/11).
Rektor Universitas Paramadia ini juga menyatakan keheranannya karena saat rapat dengar pendapat (RDP) antara polisi dengan DPR berlangsung terbuka, namun ketika RDP dengan KPK berlangsung tertutup.
”Kalau itu fungsinya untuk public relation itu dapat memperkeruh suasana,” kritiknya.

Overacting
Anies juga menanggapi dengan dingin komentar beberapa anggota dewan yang menyatakan TPF overacting, tidak punya kewenagan dan menjelma menjadi superbody.
Raker Komisi III DPR dengan jajaran Mabes Polri berlangsung selama tujuh jam lebih. Polri pun kebanjiran pujian dengan penjelasan dan sikapnya terkait kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. ”Saya mengapresiasi Polri karena tidak terpancing dengan statement-statement yang ada meski sangat keras,” ujar Wakil Ketua Komisi III, Fahri Hamzah dari Fraksi PKS, pada penghujung Raker.
Anggota Komisi III lainnya juga memberi apresiasi kepada Polri yang tetap teguh dalam tekanan yang berat serta berani mengabaikan rekomendasi TPF.
Anggota Faksi Partai Golkar Bambang Susatyo mengatakan, fraksinya merasa tidak rela Polri diobok-obok. Polri harus diselamatkan dan dihindarkan dari upaya kriminalisasi. ”Lembaga Polri direndahkan martabatnya,” tandasnya.
Pengamat politik Ray Rangkuti menilai ada skenario di balik Raker ini. ”Rapat diskenariokan buat Kapolri jelaskan bahwa pihaknya yang benar,” ujar Ray.
Dugaan skenario ini semakin kuat karena tidak adanya pertanyaan mendalam dari anggota Dewan yang mempermasalahkan mengapa hingga saat ini Anggodo tidak dijadikan tersangka. Status Komjen Pol Susno Duadji yang belum dicopot sebagai Kabareskrim juga tidak kejar secara mendalam.
”Seharusnya nama yang ada dalam rekaman sudah dicopot. Harusnya Komisi III mendesak itu,” tegas Ray.
Pengamat komunikasi politik, Effendi Gazali, bahkan menilai kualitas pertanyaan anggota Dewan sangat rendah. ”Kualitas DPR kita sangat rendah dalam mengajukan pertanyaan,” ujar Effendi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, menyatakan ada upaya melupakan rekayasa kasus pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.
”Tidak ada pertanyaan sama sekali yang mendasar terkait kasus-kasus terkini yang sedang ditangani kepolisian. Yang ada malah pementasan drama menangisnya Susno Duadji,” sindir Febri. Selain itu, menurut dia, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri juga tidak menjelaskan hal-hal yang baru.
”Apakah Komisi III terganggu dengan KPK? Seharusnya, yang paling terganggu dengan KPK adalah politisi yang buruk, tukang korupsi, bukan Komisi III,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenal Arifin Mochtar. ”Tidak ada yang berarti, kecuali air mata (Susno Suadji). Banyak yang sebenarnya bisa dikejar ke Kapolri. Semua berlawanan dengan fakta yang dikatakan KPK,” kritik Zaenal.
Satu-satunya anggota Dewan yang pertanyaannya cukup menarik adalah Gayus Lumbuun. ”Itu yang agak menggelitik. Dia kan tanya ini perkara suap, tapi kok penyuapnya tidak dikejar dan hanya yang disuap (Bibit dan Chandra) saja? Kapolri tidak bisa menjawabnya,” jelasnya.
Pengamat Politik Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Joko Prihatmoko mengatakan, pada awalnya, Raker itu ingin mengungkap kejelasan kasus Bibit dan Chandra serta isi rekaman. Tapi yang terjadi justru, DPR hanya klarifikasi dan akhirnya cenderung membela Polri.
”Publik kan tidak berharap wakil rakyat dukung ini dan itu, tapi cuma ingin jelas duduk perkaranya,” kata Joko.
Penulis sejumlah buku bertema politik kepartaian, Pemilu, dan hukum ini menilai, anggota DPR masih terkungkung partai. Arah pertanyaannya, sebisa mungkin diatur tidak menyerempet kepentingan partai. ”Ya, mungkin saja ada orang Parpol yang terlibat dalam permainan itu,” ungkapnya.
Joko melihat daya represif anggota DPR, benar-benar tidak ada. Mereka hanya mencari aman, tak berani galak kepada Polri, dan tak menelusuri lebih jauh masalah-masalah krusial yang up to date.

Kapolri vs Ari Muladi


Kapolri Bambang Hendarso Danuri :

- Ada aliran dana Rp 6 miliar ke Ari Muladi. Uang itu diberikan kepada pejabat KPK di Hotel Belgio dan Pasar Festival. BS kebagian Rp 1,5 miliar, CH Rp 1 miliar, dan penyidik Rp 400 miliar.
- Ari Muladi sebanyak enak kali datang ke kantor KPK, melalui pintu khusus.
- Ari Muladi mengubah keterangan di BAP. Dia mengaku tidak mengenal pimpinan KPK. Namun setelah dites melalui alat kebohongan dan diperkuat pendapat ahli, keterangan Ari Muladi di BAP pertama yang dipakai polisi.
- Ari Muladi mengaku menyerahkan uang kepada Yulianto, yang ternyata itu nama fiktif.


Ari Muladi :

- Tidak mengenal dan tidak pernah ketemu pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
- Mengakui tidak jujur saat diperiksa polisi pada 15 Juli lalu. Berbohong karena ingin menolong temannya, Anggodo.
- Memberi keterangan palsu karena di bawah tekanan
- Merasa bersalah karena keterangannya itu mengakibatkan pimpinan KPK menjadi tersangka sehingga mencabut BAP, sehingga mencabut keterangannya.
- Datang ke KPK hanya satu kali untuk mengantarkan surat titipan Anggodo.
- Menyerahkan uang kepada Yulianto. Yulianto bukan sosok fiktif, namun tidak diketahui keberadaannya sekarang.

Sumber : Litbang SOLOPOS, dari berbagai sumber - Oleh : dtc/Ant

Solopos

Artikel Yang Berhubungan



2 comments:

Pasang Iklan said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Pasang Iklan said...
This comment has been removed by a blog administrator.