Saturday 7 November 2009

Tiap bakso punya romantika

Sekali-kali, cobalah berkeliling menjajal sejumlah bakso yang ditawarkan sejumlah pedagang di Kota Solo.

Lalu, sempatkan pula omong-omong dengan penikmat bakso lainnya, warga sekitarnya maupun langsung berdialog dengan pedagang baksonya barang sebentar soal kedai bakso yang disinggahi.


Jika beruntung, cerita-cerita romantis yang kadang bisa menjadi inspirasi bakal didapatkan. Kisah romantis itu bukan lantaran munculnya ide mengubah bentuk bakso yang bulat menjadi bentuk hati, namun lebih pada bagaimana sejumlah pengusaha bakso memulai usahanya yang benar-benar dari nol. Serta, kreasi dan inovasi yang dilakukan untuk menarik pelanggan tanpa bantuan teknologi informasi. Maupun ketahanan persaingan usaha di tengah kian berkembangnya bisnis kuliner khususnya di dunia perbaksoan.
Salah satunya adalah Sutrisno Hadi, 56. Pemilik kedai bakso yang sejak dulu dinamai sesuai nama panggilannya tersebut, awalnya juga hanya menjual bakso halus biasa pada 1979. “Tetapi setahun berjalan, hasilnya masih biasa-biasa saja,” ceritanya saat ditemui Espos di kedainya Jl Honggowongso depan Sami Luwes, Solo, Jumat (30/10).
Dengan sedikit memutar otak, ia pun kemudian berkreasi dengan memasukkan telur puyuh dalam biji bakso pada 1980. Hasilnya tak mengecewakan. Bahkan sampai sekarang, bakso Mas Tris terkenal dengan pelopor bakso telur puyuh pertama di Solo.
Penggemarnya pun tak hanya kalangan rakyat biasa saja, tetapi juga kalangan pejabat-pejabat penting di negeri ini. “Dulu waktu Pak Harto dan Bu Tien masih hidup, kalau ke Solo juga selalu mampir ke sini,” kenangnya.
Bagi kawula muda Solo tahun 1980-an tentu juga masih ingat bahwa bakso Mas Tris juga kerap menjadi tempat traktiran dan nongkrong anak muda kala itu. “Ya sampai sekarang kalau ada yang ulang tahun banyak yang mengadakan traktiran di sini,” ujarnya.
Demikian juga dengan Bakso Titoti yang lebih kondang di Jakarta dan Wonogiri. Menurut salah seorang karyawan yang sudah bekerja sejak di Bakso Titoti sejak tahun 1980-an, Sunardi 48, hingga menjadi ternama seperti sekarang, Slamet Riyanto sang pemilik juga berjuang dari nol. “Dulu itu menurut cerita, pertama kali berdagang sekitar tahun 1975 menggunakan pikulan yang dikelilingkan di kampung-kampung. Harga per mangkuknya belum ada Rp 2.000,” katanya.
Lambat laun peminatnya mulai banyak, hingga kemudian mempunyai warung sendiri dan dinamai dengan Titoti yang diambil dari suku kata terakhir nama ketiga anaknya yakni Nuryanti, Hertanto dan Dian Susanti. - Oleh : Fetty Permatasari

Solopos

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: