Saturday, 7 November 2009
Meskipun belum ada penelitian serius terkait asal-usul bakso, namun konon makanan ini berasal dari China atau orang-orang terdahulu menyebutnya dengan Tiongkok. Masih ada perdebatan soal akar kata bakso yang terdiri atas ”bak” yang berarti ”daging” dan ”so” yang dimaknai sebagian kalangan sebagai ”mi plus sup”.
Sementara itu, sebagian orang lain memaknai ”bak” sebagai ”daging babi”. Hanya karena sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengonsumsi babi, maka digantilah bahan dasar masakan itu dengan daging sapi kendati kata ”bak” tetap disandangkan pada namanya. Tak beda dengan bakpao, bakmi maupun bakpia.
Pemaknaan kata ”bakwan” atau ”nyuknyan” yang populer di Jawa Timur dan Minahasa untuk masakan yang sama bahkan lebih mudah diurai secara tata bahasa. Baik ”bakwan” maupun ”nyuknyan” sama-sama berarti ”bola-bola daging” dalam bahasa Hok-kien atau Hak-ka.
Karena pemaknaan katanya yang membingungkan, sebagian orang bahkan mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa bakso menunjukkan ciri khas Indonesia yang merupakan campuran berbagai budaya. Dan apapun sejatinya akar kata ”bakso” atau ”baso” itu, yang jelas masakan ini sangat populer di Indonesia.
Sajian daging giling dibentuk bulat yang dicemplungkan ke kuah gurih ini sudah merakyat dan tidak sulit diperoleh di berbagai tempat. Mulai dari pedagang yang mendorong gerobak keliling kampung, memboncengkan di belakang atau depan sepeda angin maupun becak, di kaki lima, hingga warung atau kedai khusus. Tak terkecuali di Kota Bengawan yang juga kondang dengan kota kuliner.
Beberapa jenis bakso dapat ditemukan di pasaran. Ada bakso halus atau bakso biasa yang bentuk bulatnya relatif beraturan. Sepintas tak beda dengan bakso berisi telur. Ada juga bakso urat yang bulatnya cenderung kurang beraturan karena dicampur daging yang lebih kasar seratnya.
Bola-bola daging itu biasanya disajikan dengan aneka pelengkap, seperti bihun atau suun, mi, sayuran —yang biasanya sawi, pangsit, siomay, daging tetelan, balungan hingga rusuk. Namun, bukan berarti tanpa pelengkap, bakso tak sedap dinikmati. Buktinya, bakso tak lengkap yang oleh wong Solo biasa disebut kosongan juga tak kurang penggemar.
”Kosongan atau komplet sama-sama nikmat. Tergantung kebutuhan saat itu. Kalau sedang lapar-laparnya, ya pilih komplet, tetapi kalau sedang tidak terlalu lapar biasanya pilih kosongan,” ujar salah seorang penggemar bakso asal Sukoharjo, Iliya Zulaikha, 40, yang ditemui Espos di Warung Bakso Pak Alex, Jl Gajah Mada 62, Solo, Sabtu (31/10).
Yang jelas, lanjut perempuan yang berprofesi sebagai guru tersebut, rasa baksonya harus kenyal dan kres serta kuahnya yang tidak membuat enek.
Pelengkap
Lain merk bakso, lain pula kenyentrikan dari pelengkap maupun penyajiannya. ”Kalau di sini pelengkap khas pada sayurannya berupa sawi yang porsinya lebih banyak dan penyajiannya dipisah,” ujar Endang Atmini, pemilik Bakso Remaja, Jl Sorogeni 50 Kertopuran, Solo.
Maka jangan heran jika bertandang ke sana, selain mendapatkan satu porsi yang terdiri dari satu bakso isi telur, dua bakso halus, tetelan, sepotong tahu isi bakso dan bakmi, juga akan mendapatkan kurang lebih setengah mangkuk sawi yang tanpa dimakan dengan baksonya pun rasanya sudah gurih. Di bakso Alex juga demikian. Hanya saja sawi yang disajikan tidak diberi bumbu.
Pemberian sayuran yang lebih banyak, dimaksudkan sebagai penyeimbang kolesterol dari bakso. Sementara, di Bakso Pak Ruk yang dirintis sejak tahun 1950-an malah tak banyak pelengkap. Konon, itu demi mempertahankan resep bakso jawa. Satu porsi bakso Pak Ruk yang dibanderol Rp 7.000 hanya terdiri dari tujuh butir bakso halus, bihun serta daging tetelan. “Kekhasan di sini semuanya dimasak dengan menggunakan arang. Makanya aromanya juga khas,” ujar Wartini, generasi kedua pengelola Bakso Pak Ruk.
Sementara itu, Bakso Raja yang tak berpelengkap sayuran mengandalkan cara penyajian yang juga unik. Pembeli bisa memilih sendiri isi mangkuk bakso mereka secara prasmanan. Setiap butir bakso di Bakso Radja dihargai Rp 1.500 sedangkan siomay-nya Rp 1.250 per biji.
“Namun untuk pelengkapnya yang berupa bihun, pembeli bebas mengambil sesuka hati,” ujar Rully, pemilik gerai Bakso Radja di Jl Ahmad Yani 212 Pabelan. Bakso Radja merupakan waralaba dari Kediri.
Sedangkan di Bakso Rusuk Palur, sesuai namanya, mengandalkan rusuk sebagai daya tarik pelengkap sajian. “Tetapi rusuknya bukan sembarang rusuk karena harus dipilih yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis,” ungkap pengelola Bakso Rusuk Palur, Suyatno.
Yang lebih penting dari bakso lanjutnya, yakni daging yang digunakan haruslah daging segar. Pasalnya, kalau menggunakan daging yang sudah didinginkan rasa bakso akan menjadi kurang manis dan sepo (hambar). Namun, menurut sejumlah pedagang lain, tak cukup hanya dengan daging segar saja, tetapi juga berasal dari daging sapi yang berusia cukup tua. “Soalnya kalau memakai daging sapi yang muda kekenyalannya kurang dan warna bakso cenderung putih,” timpal Waluyo, pengelola Bakso Kadipolo di Jl Ahmad Yani 121 Pabelan.
Jika berbahan daging sapi yang telah berusia cukup tua, bakso menurut dia, juga bakal lebih mengembang. Selain daging segar, yang membuat kuah bakso selalu khas adalah penggunaan skengkel atau kaki sapi untuk membuat kuah bakso. Sebab, tanpa bagian tubuh sapi tersebut, ciri khas kuah bakso tak akan berasa. - Oleh : Fetty Permatasari
Solopos
Artikel Yang Berhubungan
Labels: Berita
0 comments:
Post a Comment