Wednesday, 11 November 2009
Pada tahun 2010, sebanyak 17 kabupaten/kota di Jawa Tengah akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada). Di wilayah Soloraya, Pilkada tahun depan akan digelar di Solo, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri dan Klaten.
Seperti biasa, jauh-jauh hari menjelang Pilkada, dinamika politik akan meningkat, termasuk tentu saja risiko gesekan-gesekan akan terjadi seiring munculnya pencalonan hingga penggalangan dukungan.
Dalam beberapa hari terakhir, Sukoharjo menjadi sorotan. Ini terkait munculnya pemberitaan dugaan mobilisasi Kades dan camat untuk mendukung Titik Suprapti Bambang Riyanto, yang tak lain istri Bupati Sukoharjo.
Modus yang diduga dilakukan antara antara lain Bupati memerintahkan camat dan Sekcam untuk mencari tanda tangan. Sasarannya Kades. Aksi ini diduga serentak dilakukan di 150 desa. Ada pengakuan dari sejumlah Kades mengenai aksi ini, meskipun ada juga bantahan dari camat, Titik, maupun Bupati.
Lagi-lagi, lagu lama soal pemanfaatan pegawai negeri sipil (PNS), nyaring terdengar. Ini persoalan yang muncul setiap menjelang Pemilu atau Pilkada. Jumlah PNS yang cukup besar sangat menggiurkan bagi partai politik maupun peserta Pemilu untuk mendulang dukungan. Apalagi, penggalangan dukungan melalui jalur birokrasi dirasa lebih mudah. Ini pula yang kerap dimanfaatkan untuk menggaet suara PNS.
Dalam beberapa kasus, perangkat desa, camat dan Kades menjadi salah satu alat yang cukup mudah untuk meraup dukungan. Bila kita melihat tipikal masyarakat pedesaan yang cenderung menerima apa yang disampaikan pemimpinnya alias sendika dhawuh, maka tak sulit meraup suara. Ini belum yang menggunakan ”ancaman.”
Menurut aturan, mobilisasi PNS jelas tidak diperbolehkan. Dalam UU No 43/1999 tentang Perubahan UU No 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian memuat ketentuan PNS diharuskan bersifat netral dari pengaruh semua golongan dan Parpol serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukan hanya UU itu, ada dua peraturan yang mewajibkan netralitas PNS. Yakni, Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Nasional No 10/ 2005 tentang PNS yang Menjadi Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Serta, Surat Edaran Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (SE Menneg PAN) Nomor SE/08/M.PAN/3/2005 tentang Netralitas PNS dalam Pilkada.
Meskipun masih ada pro dan kontra bahwa aturan ini dinilai mengebiri hak politik seseorang, namun di sisi lain kami mengingatkan bahwa PNS harus menyadari posisinya adalah pelayan masyarakat dan bukan pelayan partai politik atau golongan tertentu. Hal ini perlu disadari benar karena PNS memiliki peran sangat strategis. Ini perlu ditekankan, mengingat meski banyak produk hukum dihasilkan untuk mengatur persoalan ini, namun masih banyak juga PNS yang tergoda masuk ke ranah politik. - Oleh :
Solopos
0 comments:
Post a Comment