Wednesday, 25 November 2009

PROFIL MANUSIA LANGKA


Keindahan benda-benda langit selalu menarik perhatian umat manusia. Di mata Mochamad Irfan, keindahan itu adalah misteri yang mesti diungkap.
Mochamad Irfan/Foto: Angkasa/Rasantika Merat Seta
Anak bungsu dari pasangan Abdul Rochim dan Siti Anisah ini tak pernah menyangka, kelak ia bakal menjadi seorang astronom di salah satu observatorium terkenal di dunia, Observatorium Bosscha, Lembang. Semasa kanak-kanak sampai lulus Sekolah Menengah Atas, Mochamad Irfan, Si Anak Bungsu itu, mengaku tak mengenal pasti apa astronomi itu. Bahkan saat kelas dua SMA, sambil becanda ia pernah berkata ingin jadi supir truk saja.
Irfan muda baru mengenal astronomi lebih detail saat masuk Jurusan Astronomi di Institut Teknologi Bandung tahun 1990.
“Astronomi itu sesuatu yang menarik dan indah,” Irfan mencoba menggambarkannya dalam kata-kata. Ia pun melanjutkan, “Itu saat kali pertama saya mengenalnya. Belakangan hari, bagi saya astronomi itu menjadi bidang yang sulit untuk ditekuni, karena begitu menemukan obyek kami langsung menganalisisnya dengan hitungan-hitungan yang njelimet.”
Dua belas tahun bergulat dengan hitungan dan besaran astronomi, Irfan seakan tak mampu melepaskan diri dari candu astronomi. Kalau sekarang ia loyal pada astronomi, mungkin karena pengaruh lingkungan, katanya. Ia memang tidak lahir dari keluarga astronom. Orang tuanya guru di sebuah sekolah dasar di Madiun, sementara lima orang kakaknya ada yang menjadi guru mengikuti jejak orang tua, dan ada yang bergerak di bidang bisnis. “Hanya saya yang bekerja di bidang astronomi,” kata Irfan.
Manusia langka
Di Indonesia, Irfan boleh jadi termasuk golongan manusia langka. Selama ini tak banyak orang meminati bidang astronomi. Apa sebab Irfan terus mendalami astronomi, ia pun tak bisa mengungkapkan sebab pastinya. Satu yang pasti, ya karena pengaruh lingkungan, seperti yang pernah ia katakan.
“Selama ini pandangan saya banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan para astronom senior di sini,” katanya. Irfan pun mengaku, belum mampu merumuskan apa yang mesti dilakukan di masa datang. Kalau pun bisa, tentu pendapatnya tak akan terlepas jauh dari pendapat para seniornya.
“Saya sendiri belum bisa merumuskan apa yang mesti kita kerjakan untuk jangka waktu jauh ke depan. Di sini saya masih bertugas sebagai pelaksana penelitian di lapangan. Istilah kerennya asisten peneliti utama,” kata bungsu kelahiran Madiun, 24 Desember 1970 itu.
Sebagai asisten peneliti utama, Irfan bertugas melakukan penelitian di lapangan. Boleh jadi untuk urusan lapangan ia lebih tahu daripada peneliti utama, yang biasanya lebih banyak berkutat dengan latar belakang, tujuan, dan bagaimana mengelola data hasil pengamatan.
“Sebagai asisten peneliti, saya lebih banyak bertugas sebagai pengamat dan pengumpul data. Saya menguasai sepenuhnya obyek penelitiannya, tapi tak tahu pasti akan latar belakang dan tujuan penelitian,” kata Irfan yang menikahi Elyani Sulistialie, pustakawati di Observatorium Bosscha.
Selalu gagal
PAKAI CCD - Setiap kali melakukan pengamatan Irfan selalu merekam objek yang ia amati menggunakan kamera CCD./Foto:

Angkasa/Rasantika Merat Seta

Sekarang ini Irfan tengah mengerjakan pengamatan dan pengumpulan data tentang bintang ganda. Di kalangan astronom, bintang ganda yang sejumlah 60 persen dari jumlah bintang di galaksi yang mencapai 200 milyar bintang, masih terus diperbincangkan.
Seperti halnya obyek-obyek langit lain, bintang ganda masih menyimpan sejuta misteri. Bintang Sirius menjadi bintang yang paling dicari para astronom. Tak seperti bintang ganda lain, di kalangan astronom pembahasan mengenai Sirius menjadi topik yang layak dan menarik untuk diperbincangkan. Bahkan untuk Sirius, astronom sampai mengangkatnya menjadi topik tersendiri.
“Sirius menarik karena memiliki perbedaan intensitas cahaya. Yang satu sangat terang dan lainnya sangat redup. Kalau dilihat sekilas hanya ada satu bintang, padahal yang sesungguhnya ada dua bintang,” kata Irfan.
Sebagai peneliti bintang ganda di lapangan, Irfan telah berhasil memotret ratusan citra bintang ganda termasuk Sirius. Bak orang jatuh cinta, berkali-kali Irfan memotret citra Sirius. Puluhan, mungkin ratusan foto tentang Sirius telah dibuat. Terakhir ia menjepret Sirius pada akhir tahun 1999, dan menurut pengakuannya, dari sekian banyak foto itu tak satu pun yang mengesankan.
“Selalu gagal. Yang ini terlalu terang, yang ini tidak fokus,” kata Irfan kecewa.
Sebetulnya Irfan mengetahui permasalahan yang mengganjal keberhasilannya. “Masalah utama adalah perbedaan intensitas cahaya yang sangat besar. Mestinya, kita punya alat yang bisa memperkecil perbedaan intensitas.” Dan sebetulnya, untuk mengatasi perbedaan intensitas itu, Prof. Dr. G. B. Van Albada, Direktur Bosscha tahun 1949-1958, pernah mendesain sebuah kisi-kisi yang memudahkan orang mengamati, memotret, dan menganalisa Sirius, tetapi Irfan tak berminat menggunakannya karena rumit.
“Hitungannya rumit. Saya dan teman-teman ingin memotretnya menggunakan metode kamera CCD (Charge Couple Device), tetapi ternyata itu pun tak pernah berhasil.”
Merasa penasaran karena selalu gagal, merenung sesaat, Irfan mengungkapkan jalan keluarnya, “Sepertinya harus ada software yang bisa mengatur perbedaan intensitas cahaya kedua bintang sirius itu, sehingga keduanya akan sama terangnya saat difoto. Tapi sampai sekarang saya belum menemukan software-nya.”
Idamkan sponsor
Seperti kata Irfan sebelumnya, astronomi merupakan sebuah ilmu yang menarik dan indah, sekaligus sulit untuk ditekuni. Belakangan hari, Irfan tak lagi melihat keindahannya itu. Mungkin karena setiap hari berkutat dalam bidang yang monoton. “Setiap hari saya bersinggungan dengan astronomi, sampai-sampai nggak sempat lagi merenungkan keindahan benda langit yang saya amati.”
Sebagai astronom muda, Irfan berharap bisa meningkatkan pengetahuannya dengan mengikuti pendidikan jenjang yang lebih tinggi. Sekarang ia baru meraih gelar sarjana (S1) di bidangnya. Ia sendiri berharap bisa mendalami bidang ini dengan mengikuti pendidikan tingkat selanjutnya di luar negeri. Satu-satunya pendidikan di luar negeri yang pernah ia ikuti adalah International School for Young Astronomer di Chiang Mai Thailand pada awal Januari 2001. Pengalaman pendidikan di luar negeri yang lebih mirip kursus singkat ini bertujuan untuk memacu perkembangan astronom muda di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Dalam kursus singkat ini, Irfan antara lain mempelajari perkembangan astronomi di kedua kawasan itu. “Di tingkat Asia kita tertinggal jauh. Cina, India, Jepang, dan Thailand lebih maju daripada kita,” katanya.
Ketertinggalan itu membuat Irfan ingin memacu keahliannya demi memajukan astronomi Indonesia. Saat ini ia berharap bisa mengikuti pendidikan astronomi untuk jenjang yang lebih tinggi. Ia pun menyebut beberapa negara yang ia minati. “Mau saya sih, kalau nggak di Amerika, Belanda, Jerman, atau Jepang. Tapi itu kan tergantung sponsor,” katanya.
Menyangkut masalah sponsor, sepertinya Irfan harus menunggu agak lama, karena hingga sekarang belum ada tanda-tanda akan ada yang mensponsorinya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Padahal baginya, hal itu penting karena secara umum bisa meningkatkan masa depan astronomi di Indonesia. Dan lebih khusus lagi, bisa membawa keberhasilan bagi Irfan memotret Sirius. (ttg)

ANGKASA N0.7 APRIL 2002 TAHUN XII

Mochamad Irfan
Jatuh Cinta pada Sirius



Artikel Yang Berhubungan



0 comments: