Saturday, 7 November 2009
Pembebasan Kota Solo dari kekuasaan penjajah pada era perjuangan kemerdekaan tak lepas dari perjuangan Tentara Pelajar Brigade 17, yakni kelompok pejuang muda yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah.
Tatkala Proklamasi Kemerdekaan RI belum mendapatkan pengakuan dunia, semangat para pelajar berusia belasan tahun itu menggelora untuk meraihkan kemerdekaan bagi negeri ini seutuhnya.
Tak banyak lagi eks Tentara Pelajar yang bertahan hidup hingga kini. Maklum, waktu telah bergulir lebih dari 60 tahun sejak era perjuangan mereka yang waktu itu berusia belasan hingga 20-an tahun.
Salah seorang eks Tentara Pelajar tersebut adalah Drs H Soenarso yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo masa bakti tahun 1987-1990. Kini, Soenarso bahkan masih menjabat sebagai Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Tunas Pembangunan. Jatan itu telah dia emban sejak tahun 2002. Semangat Tentara Pelajar di dadanya tak lekang oleh zaman.
”Sekarang eks Tentara Pelajar sudah berusia di atas 80 tahun semua, makanya juga sudah mulai susah saat diajak berkomunikasi. Namun, semangat Tentara Pelajarnya masih terus mengalir,” tutur kakek dari 14 cucu dan delapan cicit yang seluruh rambut kepalanya telah memutih itu, saat ditemui Espos di kediamannnya, Jl Hasanuddin 61 Solo, Minggu (1/11).
Gemar berkelahi
Lahir 82 tahun silam dari pasangan Prawiro Pusoro yang bekerja sebagai kebayan dan Suwarti yang seorang pedagang, semangat Soenarso melawan penjajah yang menyengsarakan rakyat Indonesia sudah tertanam sejak kecil. Itu pula sebabnya, semasa duduk di bangku setingkat sekolah dasar bentukan Belanda yang disebut dengan Holland Indische School (HIS) ia kerap berkelahi dengan anak-anak Belanda.
Meskipun berkelahi dengan teman sekolahnya, Soenarso menghindari perkelahian di lingkungan sekolah. Dia selalu menantang duel lawannya di bawah pohon beringin alun-alun, tak jauh dari permukiman warga. Bukannya tanpa alasan, sebab itu adalah siasat jitu untuk menghindari hukuman orang Belanda yang memergoki perkelahian antara anak Indonesia dan anak sebangsa mereka.
Karena kerap berkelahi dengan teman-teman sekolahnya itulah, Soenarko mengaku kerap pindah sekolah. Dari HIS di daerah Sangkrah ke HIS Bluderan sampai kemudian menamatkan pendidikan dasarnya di sekolah dasar Islam.
Meskipun kerap pindah sekolah, Soenarso kecil tak pernah absen dari kegiatan kepanduan. Bahkan berbekal minat dan keterampilan kegiatan itu pula, dia aktif dalam seinendan —barisan pemuda usia 14-22 tahun — saat memasuki bangku pendidikan setara SMP. Bukan hanya kegiatan lazimnya kepanduan, di seinendan, Soenarso juga dilatih berperang dengan menggunakan tiruan senjata api dari kayu yang disebut mokuju serta gamping sebagai pengganti granat.
Oblong dan sarung
Walaupun awalnya Jepang yang mengaku sebagai pembebas Asia tak menunjukkan kekejamannya terhadap warga Indonesia, sikap itu ternyata tak bertahan lama. Soenarso ingat benar, betapa kejamnya polisi tentara Jepang atau kempetai menyiksa orang Indonesia. Kempetai biasa memasukkan air keran ke mulut seseorang lalu memukuli perutnya secara membabi buta.
Seringnya Soenarso melihat kekejaman yang dilakukan kempetai terhadap saudara sebangsa itu membuat Soenarso bertekad terlibat dalam aksi pelajar pejuang mengambil alih fasilitas militer Jepang, sebagaimana dilakukan di berbagai daerah Indonesia. Dengan senjata seadanya, kelompok pejuang muda yang umumnya telah dilatih Jepang sebagai seinendan itu merebut markas kempetai yang kini menjadi Hotel Cakra di Jl Slamet Riyadi, Solo, Oktober 1945. “Bisa dibilang hanya bermodal kaus oblong dan sarung yang diselempangkan di bahu,” katanya. Namun bukannya tanpa risiko. Dalam perebutan markas kempetai itu, Arifin, salah seorang pemuda pejuang yang tergabung dalam Tentara Pelajar, gugur. Namanya kini lalu diabadikan sebagai nama salah satu jalan dan jembatan di Kota Solo.
Ketika Belanda kembali datang ke Nusantara setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan RI. Gelora perjuangan Tentara Pelajar justru semakin menjadi-jadi dengan mengedepankan visi patriotisme, kepeloporan dan kemandirian. Terlebih, saat itu, para guru di sekolah mereka juga meyakinkan bahwa para Tentara Pelajar juga menjadi ujung tombak untuk mencapai kemerdekaan yang sebenarnya.
Berbekal keyakinan itu , ia bersama lima orang temannya sesama pelajar pejuang berhasil merebut sejumlah senjata tentara Belanda di Jembatan Kleco, depan Pasar Sidodadi sekarang. Bahkan, keberhasilan itu sempat diabadikan karena kebetulan saat itu ada salah seorang dari mereka yang membawa kamera. ”Ini saya yang di tengah memakai kaus oblong, celana pendek dan sarung selempang,” ucapnya seraya menunjuk gambar salah seorang dari enam pemuda yang juga sedang membawa semacam senapan.
Sejak Oktober 1945 kelompok-kelompok pelajar pejuang memang diakomodasi dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Semula sebagai BKR Pelajar, namun seiring penyebutan mereka sebagai tentara, maka para pelajar pejuang itu lalu mengelompok sebagai TKR Pelajar, Tentara Genie Pelajar (TGP), Tentara Pelajar atau Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Mereka tetap eksis bahkan setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) 7 Juni 1947.
Dalam masa itu, Soenarso bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 pimpinan Mayor Achmadi. Mereka antara lain terlibat dalam Serangan Umum Empat Hari di Solo, 7-10 Agustus 1949 yang dikomandani Letkol Slamet Riyadi selaku Komandan Brigade V. Namun pada 1951, mereka menyerahkan senjata kepada pemerintah untuk kembali ke bangku sekolah. ”Jadi kami tak lupa dengan bangku sekolah,” ujar Soenarso seraya tertawa.
Menurut Soenarso, kini dirinya, para kolega seangkatan maupun generasi penerus tinggal mensyukuri hasil perjuangan masa lalu itu. ”Dan sekarang yang penting juga menerapkan 7A, awak waras, ati seneng, awet urip, ana gunane, akeh kancane, akeh rejekine lan ampuh dongane,” ujarnya menutup cerita. - Oleh : Fetty Permatasari
Artikel Yang Berhubungan
Labels: Berita
0 comments:
Post a Comment