Saturday 7 November 2009

Nama Kabareskrim nonaktif Komjen Pol Susno Duadji belakangan banyak disorot seiring dengan munculnya kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Terlepas dari kasus itu, ternyata nama Susno tak asing bagi warga Wonogiri. Sebab, dia pernah meniti karier di Kota Gaplek.



Bagi sebagian masyarakat Baturetno maupun Bauresan, Giritirto, Wonogiri, nama Susno Duadji adalah kenangan. Susno oleh teman-teman dekatnya dinilai bagus dalam menjalankan tugas. Teman-teman dekatnya menilai Susno, cukup pintar dan grapyak (mudah bergaul). Demikian juga istrinya yang asli Solo.
Bahkan, warga di sekitar rumah kontrakan Susno dulu tidak kesulitan untuk mengingat-ingatnya. Utamanya bagi warga yang kini berusia 60-an tahun. Susno bertugas di Wonogiri sekitar tahun 1977/1978. Di Wonogiri, Susno pernah menjabat Kapolsek Baturetno, Kasatserse (sekarang Kasatreskrim) Polres Wonogiri hingga bertugas di Samapta.
Untuk melacak jejak-jejak Susno di Wonogiri tidaklah sulit. Namun saat teman-teman seprofesinya diminta memberikan testimoni soal Susno selama bertugas di Polres Wonogiri, mereka enggan bercerita panjang lebar.

Kenangan
Alasannya, takut dipanggil atasan ataupun kemungkinan “buruk” yang lain. Sehingga, mereka memilih diam. Informasi yang dihimpun Espos, Susno bertugas di Polres Wonogiri sekitar tujuh tahun, sebelum berpindah ke Polsek Banjarsari, Solo.
Pernyataan itu, paling tidak dikemukakan oleh sejumlah teman akrab Susno saat ditemui Espos secara terpisah. Beberapa tetangga Susno pun juga memiliki kenangan tersendiri. Mereka mengaku sempat bertanya-tanya saat wajah Susno sering muncul di televisi.
”Saat muncul di televisi, saya hanya bergumam dia pernah di Wonogiri. Namun kami tidak ngerti perkaranya apa karena dia sudah menjadi orang besar dan kami sudah tidak pernah berkomunikasi,” ujar Sudarmoko, tetangga Susno saat masih mengontrak rumah di Wonogiri, Kamis (5/11).

Tidur di Polsek
Rumah kontrakan Susno, saat ini masih berdiri dan dihuni oleh orang lain. Sudarmoko menceritakan istri Susno juga cukup baik dengan tetangga dan masyarakat. “Untuk nongkrong atau duduk-duduk di pos ronda tidak sering dilakukan. Waktu itu pos ronda belum ada, dan kumpul sama masyarakat dilakukan saat waktu luang.”
Hal senada dikemukakan rekan Susno, warga Baturetno. Bahkan, saat Susno masih bujangan, banyak cewek-cewek yang menaksir Susno karena wajahnya tampan. “Orangnya baik kalau ada masalah pasti dicari sampai tuntas. Bahkan dia sering tidur di Mapolsek walau lampu masih byar pet,” ujar rekan Susno yang enggan disebut namanya.
Mereka kebanyakan mengaku sudah tidak berkomunikasi lagi setelah Susno pindah dari Wonogiri. Mereka sungkan berkomunikasi dengan Susno yang terakhir menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri.
Selain memiliki ketegasan dan disiplin, Susno juga dikenal temperamental. “Dia juga temperamental namun hanya kepada anak buahnya. Temperamental dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi anak buah biar cepat ada jalan keluar.”
Kini Susno menjadi bahan pembicaraan publik. Susno lah yang kali pertama melontarkan istilah cicak dan buaya. Cicak untuk KPK dan buaya untuk Polri. Istilah tersebut langsung mengundang reaksi miring dari berbagai kalangan. Merasa tersudut, Susno pun kemudian menjelaskan asal-muasal sejarah cicak dan buaya.
Susno menceritakan, saat itu dirinya ditanya oleh wartawan dari mana bisa tahu kalau pembicaraannya disadap. Susno menjawab dari alat yang dipunyai oleh kepolisian. Alat tersebut selain menyadap bisa difungsikan untuk mendeteksi penyadapan dari luar.
Ditanya apakah alat sadap milik KPK bisa berfungsi ganda seperti itu, Susno menjawab mungkin tidak bisa. Wartawan lantas memintanya untuk menjelaskan lebih detil mengenai perbandingan alat sadap antara milik Mabes Polri dan KPK. “Saya kan bukan orang yang mengerti mengenai teknologi. Kebetulan ada cicak. Kalau saya mau bandingkan dengan arwana kan tidak mungkin. Saya mau ngomong tokek, tapi staf saya bilang ‘dengan buaya’,” kata Susno.
Susno melanjutkan, jika dilihat dari segi kecanggihan alat sadap yang dimiliki, perbandingan antara Polri dan KPK ibarat buaya dengan cicak. Namun, bila dari segi kekuasaan, Polri adalah cicak, sedangkan KPK adalah buaya.
”Dari segi kekuasaan terbalik, kami yang cicak, dia (KPK) yang buaya, karena kalau menangkap orang nggak pakai izin. Nah, bagaimana ceritanya kok alatnya saja yang populer?” Susno heran. Susno pun mengaku heran dan tak menyangka kalau obrolan segar waktu itu ternyata menjadi hal yang serius kemudian hari. - Oleh :


Solopos

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: