Sunday, 1 November 2009
Kabupaten Karanganyar menjadi saksi sejarah pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua, yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Pembagian wilayah Mataram itu tertuang dalam Perjanjian Giyanti. Nama Giyanti sendiri diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti, menurut ejaan Belanda.
Sekarang, tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, tepatnya di bagian tenggara Karanganyar kota. Tempat itu sudah banyak dikenal, hampir dari seluruh daerah di lingkup Jawa.
Petilasan Perjanjian Giyanti itu dikelilingi pagar tembok dengan tinggi setengah badan orang dewasa, dengan pintu utama berupa gapura mini. Di dalamnya terdapat dua pohon beringin kembar, dan batu kali datar untuk tempat semedhi.
Menurut Juru kunci petilasan Perjanjian Giyanti, Hadi Siswanto, yang ditemui Espos, Sabtu (31/10), hingga kini masih banyak orang dari berbagai daerah yang sesirih atau nglakoni di tempat itu. Mereka ber-semedhi semalam penuh untuk mencari pepadhang atau petunjuk tentang harapan dalam hidupnya.
“Biasanya, petilasan ini ramai dikunjungi warga saat malam Jumat Legi bulan Sura. Mereka banyak yang mencari wangsit di sini, dengan membawa sekar setaman, kembang kanthil dan kemenyan,” terangnya.
Konon, bagi orang yang berhati bersih, dan bersemedi dengan ikhlas lahir batin, juga bisa mendapat gambaran isi prasasti di Perjanjian Giyanti. Bila tidak, semalam suntuk bersemedi pun tak akan mendapatkan gambaran apa-apa.
Beberapa sumber menyebutkan Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan pihak pemberontak dari kelompok Pangeran Mangkubumi yang menjadi solusi bagi salah satu kerusuhan yang terus terjadi di Mataram sepeninggal Sultan Agung.
Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram.
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua, yakni wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang-red) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram, yakni Sunan Paku Buwana III, dan tetap berkedudukan di Surakarta.
Sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli-red) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwana I yang berkedudukan di Yogyakarta.
Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena kelompok Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said masih terus melakukan perlawanan terhadap Paku Buwana III. Perlawanan ini berakhir dua tahun kemudian melalui Perjanjian Salatiga. - Oleh : dsp
Solopos.com
0 comments:
Post a Comment