Tuesday 3 November 2009

Tidak lama setelah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II terbentuk, masyarakat Indonesia disuguhi berita kematian Muntik Hani, 36, tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia yang disiksa majikannya. Muntik Hani meninggal di rumah sakit.

Muntik disiksa pasangan suami istri Malaysia hingga mengalami luka-luka serius yang menyebabkannya tewas.

Tentu saja kasus Muntik merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah sekarang khususnya Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Berbagai persoalan TKI terus mewarnai potret buram perjalanan para TKI di luar negeri. Dan yang paling menyedihkan adalah perlindungan dari pemerintah Indonesia sendiri masih rendah. Pengakuan sebagai pahlawan devisa yang telah memberikan banyak sumbangan dana perekonomian untuk Bangsa Indonesia, sepertinya tak mampu mengubah nasib TKI menjadi lebih baik.
Masih ingat, TKI asal Garut, Siti Hajar, yang dianiaya majikannya Michele Hua Yuan Tyng di Malaysia. Siti Hajar selama tiga tahun bekerja tanpa mendapatkan makanan yang cukup, hanya sehari dua kali, itu pun hanya dengan nasi putih, disiram dengan air panas dan sering dipukuli dengan rotan serta gaji yang tidak dibayar oleh majikannya. Belum kasus-kasus yang lain.
Kasus-kasus tersebut memperlihatkan betapa kurangnya perhatian pemerintah Indonesia terhadap nasib TKI dan lemahnya perlindungan TKI di luar negeri. Persoalan TKI seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia untuk segera mencari solusi jalan keluarnya.
Pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi setiap warga negaranya, termasuk juga TKI yang ada di luar negeri, bukan malah sebaliknya mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab konstitusional yang termaktub dalam UUD 1945. Banyaknya TKI yang bekerja di luar negeri secara tak langsung telah membantu memperingankan beban tanggung jawab pemerintah untuk “memajukan kesejahteraan umum” masyarakat Indonesia.
Pembenahan
Perlindungan terhadap TKI menurut U No 39 Tahun 2004 adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI atau TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Terkait dengan perlindungan TKI yang ada selama ini, sudah sepatutnya mendapat perhatian serius untuk segera dilakukan pembenahan. Di sini khususnya perhatian dari pemerintah Indonesia dan peran optimal Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Depnakertran) sangat diperlukan.
Pertama, meningkatkan kemampuan dan keahlian di bidang diplomasi bagi para diplomat di Kedubes RI dan konsulat RI di luar negeri, khususnya di negara-negara penempatan atau negara yang menjadi tujuan TKI, yang tergolong besar dan sering rawan bermasalah. Para diplomat harus dilengkapi atau didampingi oleh para aktivis dan profesional hukum dan HAM yang berpengalaman dan mempunyai link (jaringan) yang kuat, serta diakui di negara setempat sehingga dapat secara optimal melakukan pembelaan terhadap TKI jika suatu waktu terjadi persoalan.
Kedua, peningkatan fungsi pengawasan kepada aparat yang bertugas melindungi TKI di luar negeri dengan cara melakukan evaluasi menyeluruh dan menyeleksi ulang seluruh kinerja aparat pemerintah yang diberi tugas untuk melakukan perlindungan TKI di luar negeri.
Ketiga, perlu mengoptimalkan program pemberdayaan calon TKI dan program pengurangan pengiriman TKI pada tingkat pembantu rumah tangga secara signifikan karena kekerasan banyak terjadi pada TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Solusinya dengan menaikkan jumlah pengiriman TKI yang terdidik dan profesional.
Keempat, perlu segera mengkaji, menata, dan menyeleksi ulang sistem perasuransian TKI dan perusahaan-perusahaan yang selama ini menyelenggarakan asuransi TKI. Koordinasi antara Depnakertrans dengan perusahaan jasa TKI (PJTKI) sangat diperlukan agar jauh ke depan dapat saling bekerja sama dan melibatkan perusahaan asuransi, para audit asuransi, ahli hukum, dan ahli manajemen.
Kelima, pemerintah bersama-sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melakukan pendataan dan menyeleksi semua PJTKI di Indonesia. Apakah PJTKI yang ada selama ini telah memenuhi dan menjalankan prosedur dan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang atau belum. Karena, banyak sekali PJTKI yang tidak mempunyai dokumen-dokumen resmi dan beroperasi secara ilegal sehingga ujung-ujungnya TKI-lah yang dirugikan.
Karena itu, ke depan, pemerintah Indonesia harus lebih tegas dan serius memikirkan nasib yang dialami TKI ini melalui perumusan kebijakan-kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak kepada para TKI. Penderitaan para TKI di luar negeri harus segera diakhiri. Kita semua sangat berharap semoga program kerja kabinet periode 2009-2014 dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan ketenagakerjaan khususnya mengenai penataan pengiriman TKI ke luar negeri benar-benar terealisasikan, tidak hanya sebatas pada retorika. Karena yang terpenting adalah bukti, bukan janji omong kosong. - Oleh : Nana Rosita Sari, Mahasiswa FH UNS

Solopos

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: