Tuesday 3 November 2009

TPF bukan pereda kemarahan publik

Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) resmi membentuk tim pencari fakta (TPF) bernama Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum. Tugasnya, meneliti kasus yang melibatkan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang sekarang berkembang menuju wacana perang KPK vs Polri.

Tim beranggotakan delapan orang yaitu Adnan Buyung Nasution (Ketua), Koesparmono Irsan (Wakil Ketua) dan Denny Indrayana (Sekretaris), beranggotakan Anies Baswedan, Todung Mulya Lubis, Amir Syamsudin, Hikmahanto Juwana dan Komaruddin Hidayat.
Pembentukan TPF oleh Presiden itu dilakukan setelah tekanan masyarakat datang bertubi-tubi. Kemarahan masyarakat memuncak melihat sandiwara cicak vs buaya, yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat. Penahanan Bibit dan Chandra juga dinilai sebagai upaya membungkam gerakan pemberantasan korupsi. Apalagi, sebelumnya beredar rekaman yang mengungkapkan dugaan kriminalisasi KPK.
Kami mengapresiasi positif pembentukan TPF ini. Walau kami menyadari pembentukan tim ini tidak lepas dari upaya meredam kemarahan publik terhadap Polri. Kemarahan tidak hanya kepada Polri, namun juga kepada SBY yang membiarkan perseteruan itu.
Hanya, sejauh mana peran TPF dalam kasus ini, publik akan menunggunya. Anggota TPF Amir Syamsudin mengatakan tugas TPF bukan di ranah pro yustisia (penegakan hukum), tetapi mengklarifikasi due process of law (legalitas proses) dalam kasus itu.
Dengan demikian, proses hukum yang dilakukan polisi jalan terus. Lalu TPF juga akan menguji kebenaran fakta hukum yang ada dalam kasus KPK vs Polri, dan ikut serta mendengarkan rekaman pembicaraan dugaan rekayasa kriminalisasi KPK di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal inilah yang disoroti sejumlah pihak. TPF hanya akan memberi rekomendasi politis. Bahkan ada yang menyebut TPF ini ibarat morfin, yang bisa menenangkan kemarahan publik dalam sesaat, namun tidak menyelesaikan masalah.
Kami mengakui TPF tentu bukan lembaga superbodi yang mempunyai banyak kewenangan, termasuk dalam eksekusi. TPF hanyalah lembaga yang bisa menengahi perseteruan antara Polri dan KPK. Dalam kasus Bibit dan Chandra ini muatan kepentingannya sangat tinggi. Awalnya, KPK menyadap telepon Kabareskrim Susno Duadji dalam kasus Bank Century. Lalu Susno membuat istilah cicak melawan buaya. Istilah cicak disandangkan ke KPK, sementara Polri menyebut dirinya sebagai buaya yang lebih besar dibandingkan cicak. Lalu, Bareskrim Polri menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka dengan tuduhan yang berubah-ubah, antara penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.
Karena di dalam kasus itu terlibat petinggi Polri, maka tidak salah jika publik curiga dan tidak percaya Polri tidak berpihak. Karena itu, keberadaan TPF penting untuk mengawasi dan memastikan tidak terjadi subjektivitas dalam pemprosesan kasus Bibit dan Chandra. Namun, jangan sampai TPF juga jadi alat legitimasi apa yang dilakukan Polri. Yang lebih penting lagi, TPF bisa mengungkap lebih dalam rekaman dugaan kriminalisasi KPK yang melibatkan banyak pihak. Jika rekaman itu diungkap, diharapkan ada kejelasan siapa salah, siapa benar. Yang salah harus ditindak. - Oleh : solopos

Artikel Yang Berhubungan



0 comments: