Wednesday, 4 November 2009
Keliling empat negara dengan Rp 4 juta (Bagian III) Di perbatasan Thailand, dicurigai sebagai imigran gelap Myanmar
Posted by fikirjernih at 07:11Perjalanan Kereta Api (KA) Senandung Malam No 12 ke Kuala Lumpur (KL) sangat membosankan. Saya ditemani dua orang traveler dari Solo dan Tasikmalaya, Popy dan Nila. Kondisi KA sangat menyiksa, karena ruangan sangat dingin.
Menurut saya, KA Singapura-Malaysia ini tak sebagus yang digambarkan di situsnya. Tak lebih bagus dari KA Senja Utama.
Senin (11/10) pukul 06.20 WIB, kami sudah tiba di KL Sentral. Saya di sini hanya untuk satu hari, karena pada Selasa (12/10), saya harus terbang ke Chiang Mai, Thailand. Popy dan Nila akan menginap di Paradiso Bed and Breakfast, di kawasan Bukit Bintang, KL. Saya ikut numpang sebentar sekadar buat mandi. Hukum pengiritan berlaku lagi. KL tidak terlalu menarik perhatian saya. Saya hanya tertarik untuk melihat Petronas Twin Tower. Di KL, saya disambut Azrai, backpacker setempat, yang juga member di www.couchsurfing.com (CS). Azrai orang yang murah hati. Dia rela menjadi ”sopir” saya, Popy, dan Nila untuk berkeliling sejumlah tempat. Semua gratis...tis.
Kami mengunjungi Batu Caves, gua tempat peribadatan yang didekasikan untuk Dewa Murugan, dewa yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu Tamil. Lokasinya berada di distrik Gombak, Selangor, atau sekitar 13 km di sebelah utara KL.
Saya terpesona dengan patung Batumalai Sri Subramaniar atau Swamy Devasthanam, yang berada di luar gua. Tinggi patung 42,7 meter atau 140,09 kaki. Pembangunan patung ini sendiri menghabiskan 1.550 meter kubik beton, 250 ton besi dan 300 liter cat emas. Dan diperkirakan menelan biaya 24 juta Rupee.
Untuk menuju gua, kita harus menaiki 272 anak tangga. Selama perjalanan hingga tangga akhir, kera-kera liar akan menjadi pemandangan menarik.
Malamnya, kami kembali ke Bukit Bintang. Di sinilah saya berpisah dengan Popy Nila dan Azrai. Tengah malam saya tiba di Low Cost Carrier Terminal (LCCT) KL, bandara tempat saya bertolak menuju Chiang Mai, Thailand.
Pesawat bertolak dari KL ke Chiang Mai pukul 07.20 dan tiba pukul 09.00 waktu setempat. Tiba di Chiang Mai International Airport, lagi-lagi urusan imigrasi memusingkan saya.
Kali ini saya tidak berhasil menghubungi Sakayawat Wongrattanakamon, backpacker Thailand yang akan menampung saya. Tiba giliran saya di meja pemeriksaan, petugas seperti mengerti apa yang menjadi kekhawatiran saya. Dia menanyakan di mana saya akan tinggal. Saya menjawab saya lupa alamat teman. Saya kembali mencoba menerangkan dengan siapa nanti saya akan tinggal, dan untuk keperluan apa saya ke Chiang Mai. Tetapi, tampaknya itu tidak berhasil. Lalu saya punya ide, saya cantumkan nomor handphone Sakayawat. Petugas itu pun setuju, dan saya akhirnya lolos lubang jarum.
Sakayawat menjemput saya di bandara, dan langsung membawa saya ke Doi Suthep, sebuah kuil dan candi Buddha yang indah. Tetapi, target utama saya adalah segera menuju Myanmar. Menuju ke Myanmar dari Chiang Mai cukup mudah. Kami menuju Chiang Mai Arcade Bus Station dan mengambil bus jurusan Mae Sai Bus Station di perbatasan Thailand-Myanmar. Untuk mencapai Mae Sai, kami hanya butuh waktu empat jam, dengan bus yang bagus dan sangat nyaman, yaitu Green Bus.
Tarif 212 bath untuk reguler (Rp 60.000), sangat murah untuk bus senyaman ini. Menjelang masuk wilayah Mae Sai di perbatasan Thailand-Myanmar, perjalanan menyenangkan ini menjadi terganggu saat seorang dengan seragam hijau serupa tentara masuk ke bus. Saya tengah buang air kecil di toilet saat itu. Belum juga selesai saya cuci tangan, pintu toilet sudah digedor dari luar. Laki-laki itu berbicara kepada saya dengan bahasa Thailand. Saya tak paham. Buru-buru saya mengeluarkan paspor yang selalu siap dikantong celana saya.
”Huh...Indonesia?” lalu dia melanjutkan dengan kalimat panjang dan datar berbahasa Thailand. Lagi-lagi saya hanya menggelengkan kepala. Daripada bingung dan semakin salah paham, saya beranjak menuju kursi Sakayawat. Laki-laki itu mengikuti. Beberapa saat kemudian teman saya berbicara dengan laki-laki itu. Laki-laki itu kembali membuka paspor saya. Dan kembali berbicara panjang lebar ke teman saya, sambil sesekali melirik saya. Sesaat kemudian, paspor diserahkan ke saya. ”Dia pikir kamu imigran gelap dari Myanmar,” kata Sakayawat. - Oleh : Ariyanto
0 comments:
Post a Comment